Dalam sebuah cerita, dikisahkan tentang
seorang lelaki tua Yahudi yang merasa gembira disuruh mengecat tembok sinagog
yang sudah kusam.
Selain merasa
beribadah dengan mengecat rumah ibadat
sinagog, ia pun --sesuai dengan naluri bisnisnya yang wajar dimiliki manusia--
berharap bisa memperoleh keuntungan.
Agar keuntungannya
besar, ia mengencerkan cat temboknya dengan air yang melebihi ukuran.
Dan
dengan memakai kuas jelek yang sudah ada, ia merasa bisa berhemat karena tidak
usah mengeluarkan uang untuk membeli kuas baru.
Itu saja belum cukup, ia merasa
perlu menghemat waktu, sebab waktu adalah uang.
Karenanya, ia mengecat dengan
‘kilat’. Artinya, cukup sekali cat tanpa perlu mengulang lagi.
Yang penting, sinagog terlihat sudah dicat dan nampak baru.
Yang penting, sinagog terlihat sudah dicat dan nampak baru.
Keesokan harinya,
karena semalam ‘kebetulan’ turun
hujan lebat, cat tembok itu luntur dan bangunan sinagog nampak kembali lusuh.
Si lelaki tua Yahudi itu kaget dan mengeluh kepada Allah:
“Tuhan, aku umatMu yang setia dan taat beribadah, mengapa Engkau lakukan
ini kepadaku?”
Tuhan pun langsung mengutus malaikat. Sambil menyodorkan sebuah kuas baru, malaikat
berseru: “Nih..! Dan jangan kikir.”
Ada kisah lain:
Walau Jawatan
Meteorologi sudah memberitahukan bahwa topan badai --yang bisa menimbulkan
banjir dan longsor-- akan tiba di tempat itu tiga hari lagi, seorang laki-laki
Nasrani yang soleh tidak bersedia diungsikan dari rumahnya
Hari pertama ia
menolak nasihat petugas jawatan meteorologi, dan berkata: “Tuhan selalu bersama
saya”.
Hari kedua ia menolak bujukan petugas kepolisian setempat yang akan
mengevakuasinya, dan berkata: “Tuhan akan menolong saya”.
Hari ketiga ia tetap menolak bantuan dari petugas
SAR, dan berkata dengan sangat yakin: “Tuhan pasti menyelamatkan saya”.
Malamnya hujan badai
yang dahsyat benar-benar datang.
Rumah itu longsor dan ‘orang yang soleh’ itupun mati tenggelam dalam banjir.
Rumah itu longsor dan ‘orang yang soleh’ itupun mati tenggelam dalam banjir.
Laki-laki itu
mengadu kepada Allah: “Tuhan, aku umatMu
yang setia dan taat beribadah, mengapa Engkau tidak menyelamatkanku?”
Tuhan berkata: “Tiga kali Aku ke rumahmu, tapi engkau selalu menolak”.
Kedua kisah di atas hanyalah dongeng rekaan manusia; dan hanya ada dalam
acara guyon di radio atau televisi.
Namun hakekat isi kisah itu bersesuaian dengan ketentuan atau “cara kerja” Allah dalam ajaran Islam; yaitu setiap orang akan mendapat balasan dari apa yang diperbuatnya.
Namun hakekat isi kisah itu bersesuaian dengan ketentuan atau “cara kerja” Allah dalam ajaran Islam; yaitu setiap orang akan mendapat balasan dari apa yang diperbuatnya.
Jelas, dalam masalah keduniawian, Allah --dalam melaksanakan kehendakNya-- bisa memakai orang lain sebagai perantara.
Keyakinan ibadah bukan berarti manusia harus lepas dari ketentuan hukum keduniawian yang sudah ditetapkan (sunatullah).
Sifat Allah --Tuhan semua
manusia, bukan hanya Tuhan umat Yahudi, Nasrani dan Muslim saja-- selain Mahakuasa pastilah Mahaadil.
Apa pun yang menimpa manusia dalam kehidupan duniawi mestilah terkait dengan usaha manusia itu sendiri secara keduniawian pula.
Bukan semata-mata ‘mujizat’ atau ‘keajaiban’.
Apa pun yang menimpa manusia dalam kehidupan duniawi mestilah terkait dengan usaha manusia itu sendiri secara keduniawian pula.
Bukan semata-mata ‘mujizat’ atau ‘keajaiban’.
Karenanya, orang
yang ingin kaya harus bekerja, bukan ke dukun atau ke kiai.
Orang yang jasmaninya sakit harus ke
dokter, bukan ke dukun atau ke kiai.
Kecuali kiai itu juga mempunyai keahlian pengobatan secara keduniawian seperti dokter atau tabib; artinya menggunakan obat-obatan bukan sekadar memakai jampi.
Jadi, kalaupun kita pergi berobat ke orang tersebut, itu karena keahliannya sebagai tabib dan bukan kekiaiannya.
Kecuali kiai itu juga mempunyai keahlian pengobatan secara keduniawian seperti dokter atau tabib; artinya menggunakan obat-obatan bukan sekadar memakai jampi.
Jadi, kalaupun kita pergi berobat ke orang tersebut, itu karena keahliannya sebagai tabib dan bukan kekiaiannya.
Kiai itu sekadar
tempat kita mendapat tuntunan agama yang benar.
Kalaupun ada yang kita harapkan dari seorang kiai, tidak lebih agar beliau berdoa (memohon kepada Allah) agar apa yang kita inginkan bisa jadi kenyataan.
Selain itu, tidak ada.
Sebab dalam Islam tak ada pemuka agama, kiai atau apa pun namanya, yang ‘sakti mandraguna’.
Kalaupun ada yang kita harapkan dari seorang kiai, tidak lebih agar beliau berdoa (memohon kepada Allah) agar apa yang kita inginkan bisa jadi kenyataan.
Selain itu, tidak ada.
Sebab dalam Islam tak ada pemuka agama, kiai atau apa pun namanya, yang ‘sakti mandraguna’.
LEBIH BANYAK BOHONGNYA
Dari seratus ribu penderita kanker, hanya satu orang saja yang mungkin
sembuh karena mujizat.
Sedangkan yang sembuh dengan pengobatan secara ilmiah, artinya melalui obat-obatan berdasar advis dokter, pastilah jauh lebih banyak.
Sedangkan yang sembuh dengan pengobatan secara ilmiah, artinya melalui obat-obatan berdasar advis dokter, pastilah jauh lebih banyak.
Kalau satu orang yang sembuh dengan mujizat itu dianggap orang ‘beriman’, berarti
sisanya yang jauh lebih banyak bukan orang beriman.
Dengan kata lain, kalau kita sembuh bukan karena mujizat, berarti kita bukan orang beriman.
Apa begitu?
Dengan kata lain, kalau kita sembuh bukan karena mujizat, berarti kita bukan orang beriman.
Apa begitu?
Satu realita, lebih
banyak bohong daripada ‘mujizat’.
Lebih banyak yang tertipu ketimbang ‘sembuh’.
Jangankan menyembuhkan orang lain, menyembuhkan dirinya sendiri saja --dengan ilmu mujizat-- adalah sulit.
Kalau betul bisa begitu, orang itu tidak akan mati (karena sembuh terus).
Karenanya, jika sakit jasmani pergilah ke tabib atau ke dokter.
Lebih banyak yang tertipu ketimbang ‘sembuh’.
Jangankan menyembuhkan orang lain, menyembuhkan dirinya sendiri saja --dengan ilmu mujizat-- adalah sulit.
Kalau betul bisa begitu, orang itu tidak akan mati (karena sembuh terus).
Karenanya, jika sakit jasmani pergilah ke tabib atau ke dokter.
JIKA ALLAH BERKEHENDAK, MUJIZAT BISA DILAKUKAN SIAPA SAJA
Seseorang memeluk Islam harus karena meyakini akan kebenaran ajarannya,
bukan karena tertarik dengan mujizat-mujizatannya.
Yang namanya ‘kejadian aneh’ bisa dialami siapa saja.
Artinya, sesuatu yang dikira mujizat bisa saja berasal dari si iblis laknat jahanam keparat terkutuk.
Semestinya diingat,
tidak ada hal yang luar biasa jika Allah memang sudah berkehendak.
Hanya saja Allah berkehendak serupa itu bisa jadi untuk menguji keimanan kita.
Yang pasti, semua hal terjadi dengan kehendak Allah; termasuk kejadian
yang kita anggap sebagai kebetulan.
Jadi sesungguhnya, di dunia ini, tak ada peristiwa yang kebetulan; sebab yang namanya kebetulan pun merupakan kehendak Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar