BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Minggu, 26 Februari 2012

Menempatkan tasawuf



Mendengarkan lagu klasik karya Beethoven saat istirahat sepulang kerja yang melelahkan, akan memberi ketenangan yang menyegarkan.  
Namun saat ditimpa kesedihan, mendengarkan lagu klasik serupa itu justru bisa menambah kepedihan

Karenanya, kita harus bisa meletakkan sesuatu itu bukan saja pada tempat yang tepat, tapi juga pada waktu yang tepat

Jika tidak, sesuatu yang dianggap baik justru bisa berdampak buruk. 


Begitu juga dengan tuntunan tasawuf, jika salah menempatkannya tuntunan tasawuf justru bisa menyebabkan kemalasan yang bisa mengarahkan kepada kemelaratan dan penderitaan. 
Jika salah menempatkannya, tuntunan tasawuf justru bisa mengarahkan kepada pemahaman syareat agama yang ngaco.  

Padahal pada tempat yang tepat, tuntunan tasawuf bisa mengarahkan kita pada keikhlasan dan kepasrahan yang menenteramkan.


Dalam banyak kenyataan, suka atau tidak suka, kita sering tak memiliki pilihan apapun; kita harus menerima apapun yang menimpa kita. 
Artinya, ada saat dimana kita betul-betul tak memiliki daya upaya menolak sesuatu yang tak kita inginkan; ada saatnya kita harus benar-benar pasrah. 

Contohnya pada saat kita ditinggal wafat orang yang kita sayangi, atau saat kita kehilangan sesuatu yang amat kita cintai. 
Atau saat kita ditimpa penyakit jasmani yang amat sangat berat, yang sulit disembuhkan.


Pada saat diliputi  kecemasan dan kesedihan serupa itu, tuntunan tasawuf yang mengarahkan kepada sabar dan tawakal amatlah bermanfaat. 
Pada kasus serupa itu, tuntunan tasawuf yang mengarahkan kepada sikap benar-benar pasrah total merupakan satu-satunya solusi yang bisa menenteramkan hati. 

Sikap melawan realita justru akan mendekatkan kita kepada sikap melawan kehendak Allah, mendekatkan kita untuk menuduh Tuhan sebagai tidak adil; mendekatkan kita kepada kekufuran.

Karenanya, berusahalah untuk tidak menolak kehendak Allah; sebab kita tidak akan pernah tahu yang mana yang sebenarnya yang terbaik buat kita. 

Jika di dalam batin masih ada perasaan penolakan terhadap kehendak Nya, sulit rasanya bagi kita untuk mengaku bahwa kita termasuk Muslim yang benar-benar ikhlas. 
Apalagi jika penolakan itu terlontar dari mulut kita; satu hal yang jangan sampai kita lakukan.


Dari hal-hal di atas, tuntunan tasawuf yang benar, yang mengajarkan kepasrahan hati dan mendorong kita untuk berbuat kebajikan kepada sesama manusia, tak salah untuk kita ikuti. 

Sebaliknya, ajaran tasawuf yang menyimpang dari syareat Islam yang baku, harus kita jauhi.


Pelaku tasawuf yang benar (yang tidak keluar dari tuntunan syareat) akan berusaha meluruskan ajaran tasawuf yang menyimpang, dan bukan menghilangkan kebaikan-kebaikan yang ada dalam tasawuf itu. 

Pelaku tasawuf yang benar adalah Muslim yang gembira saat melaksanakan tuntunan Allah karena semata-mata mengharap ridhaNya; dan bukan karena ingin balasan atau pujian dari manusia. 







MENEMPATKAN SABAR DAN TAWAKAL

Banyak Muslim yang salah menempatkan sabar dan tawakal. 

Sabar diartikan berserah diri tanpa berbuat apa-apa. 
Tawakal diartikan menerima apa adanya dengan tidak ditindaklanjuti oleh motivasi untuk merubah keadaan. 

Padahal seharusnya seorang Muslim menempatkan rasa syukur (dengan apa yang ada padanya atau yang dimilikinya), sebagai pondasi dalam kehidupannya sehari-hari; dan bukan sekadar sabar dan tawakal, yang malah dilanjutkan dengan berburuk sangka kepada Allah Swt.


Di atas landasan rasa syukur tersebut, seorang Muslim harus berikhtiar merubah keadaannya menjadi lebih baik. 
Ketika sedang berusahanya inilah, seorang Muslim menempatkan sikap sabar dalam menghadapi berbagai tantangan kesulitan. 

Sedangkan sikap tawakal ditempatkan tatkala melihat hasil akhir dari ikhtiarnya. 
Sementara rasa syukur tetap dijadikan landasan hidupnya, baik usahanya berhasil atau tertunda.


Jelas, takdir itu bukan untuk ditunggu atau didiamkan kehadirannya. 
Takdir baik itu harus kita raih, dan takdir buruk itu harus kita hindari.







IKHLAS DAN IKHTIAR

Setiap ikhtiar seorang Muslim akan ada balasannya; apa yang tidak berhasil diraihnya di dunia, jika ia ikhlas, akan diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di akhirat dalam bentuk yang jauh lebih baik. 

Realitanya, rezeki dan keberuntungan ada kalanya muncul beruntun; begitu pula musibah dan kesedihan kadang datangnya bertubi-tubi. 

Apa, kenapa dan mengapanya lebih sering tidak bisa kita pahami. 
Karena, memang, tidak semua pertanyaan tentang perjalanan kehidupan ini harus ada jawabannya.


Kita yakin, jika kita ikhlas, ada balasan yang jauh lebih baik yang akan kita dapatkan di akhirat nanti. 
Sesuatu yang tak akan pernah berkarat dan tak akan pernah jadi rongsokan. 
Sesuatu yang akan membuat orang lain menjadi amat sangat menginginkannya. Yakinlah.





Catatan:
  • Ketidaktenteraman hadir karena ketidakmampuan kita untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang kita lakoni; dan ketidakbahagiaan memerangkap kita karena ketidakmampuan kita untuk mensyukuri apa yang sudah kita miliki. Dengan kata lain, kecemasan biasanya hadir karena kita tidak siap dengan apa yang akan terjadi; dan kesedihan memerangkap kita karena kita tidak mau menerima realita yang terjadi.
  • Esensi tasawuf adalah mengingatkan setiap manusia yang diberi kelebihan (materi, jabatan, kekuasaan, ilmu, kecantikan, ataupun kelebihan lainnya) untuk mawas diri. Untuk tidak tinggi hati. Dan memanfaatkan kelebihanya itu dengan benar.
  • Islam tidak melarang Muslim jadi kaya, tapi melarang kita jadi sombong. Tidak melarang memperlihatkan kekayaan, tapi melarang menghina orang lain. Dalam Islam, orang miskin pun jika menghina orang lain (yang dinilai lebih miskin) adalah orang yang sombong.


(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: