BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Minggu, 26 Februari 2012

Membenarkan perilaku buruk


Seringkali kita menutupi kekurangan yang ada di diri kita dengan cara yang tidak betul.

Contohnya, kita gengsi jika pergi ke undangan dengan memakai baju biasa atau motor butut kepunyaan sendiri, dan merasa bangga memakai jas atau mobil bagus pinjaman dari orang lain. 
Anehnya kita tidak merasa harga diri kita turun dengan memakai jas dan mobil orang lain itu. 


Begitu pula dengan sikap munafik, biasanya kita juga tidak merasakannya. 
Padahal setiap Muslim tahu ciri munafikun; yaitu orang yang perilakunya sering tidak sesuai dengan ucapannya. 
Artinya, bila bicara dusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. 

Namun sifat-sifat tersebut, yang ditempelkan sebagai label munafik, dalam realitanya merupakan sifat yang umum dimiliki kebanyakan manusia normal.


Sebagai Muslim, kita memang wajib untuk menghilangkan sifat-sifat jelek tersebut. 
Namun dalam kenyataannya pula, jangankan kita muslim yang awam, orang yang sudah dianggap tokoh pun sulit untuk dikatakan sudah tidak mempunyai sifat-sifat tercela itu. 

Faktanya, tidak sedikit di antara kita yang memperdalam ajaran agama, malah mengaku ajaran tasawuf, yang seharusnya menghilangkan sifat iri dengki dan permusuhan, justru yang ditonjolkan adalah sifat iri dengki dan permusuhannya itu sendiri.  

Dalam prakteknya, kita masih suka iri melihat kelebihan dan kemajuan orang lain, kiai lain, jamiah lain, atau bangsa lain.


Kenyataannya, disebabkan ada dan tidak adanya kepentingan kita, sikap kita suka berbeda dalam menghadapi dua perkara yang sebenarnya serupa. 
Contohnya, kita menuntut hak demokrasi kepada orang lain yang sedang berkuasa; tapi ketika kita berkuasa, kita tidak mau memberi hak demokrasi kepada orang lain. 

Begitu pula, ketika miskin kita mencaci maki spekulan yang menimbun barang dan mencapnya sebagai penjahat yang merugikan rakyat. 
Ketika jadi kaya, kita jadi spekulan yang lebih jahat dengan menimbun barang yang lebih banyak lagi. 
Tapi kita menganggapnya wajar, tokh barang itu kita mendapatkannya dengan membeli, bukan hasil merampok. 

Jadi jelas, manusia memang cenderung untuk membenarkan semua perilakunya; walau perilakunya itu negatip. 
Padahal menuduh orang lain munafik sementara kita sendiri tidak yakin perilaku munafik sudah tidak ada pada diri kita, adalah perbuatan munafik.


Realitanya, tidak sedikit orang yang hapal istilah-istilah agama tapi tidak melaksanakannya. 
Seperti juga orang yang amat lancar menceritakan sifat-sifat Nabi yang mulia, tapi perilakunya berlawanan dengan sifat-sifat tersebut. 

Jadi tak mustahil bila ada orang, walau pegawai di lembaga keagamaan sekalipun, memiliki perilaku yang tidak beres; seperti mudah tersinggung, cepat marah, korup dan lebih rakus.


Yang jelas, jika orang lain tidak menyukai atau tidak mempercayai kita, pasti ada sebabnya.  
Dengan kata lain, tidak semata-mata orang lain benci jika kita tidak melakukan keburukan.







KERAGUAN YANG TAK DIKEMUKAKAN

Walau terbuka pilihan --untuk berbuat baik atau berbuat buruk-- tak sedikit Muslim yang tetap memilih untuk melakukan perbuatan buruk yang merugikan orang lain; semata-mata karena pada perbuatan buruk tersebut ada keuntungan yang bisa diraihnya.

Perilaku serupa itu mustahil dijalani oleh Muslim yang benar-benar menghayati kemuslimannya; mustahil dijalani oleh Muslim yang meyakini Allah senantiasa melihat dan mengawasinya. 

Perilaku serupa itu hanya dilakukan oleh orang yang hatinya diliputi kebimbangan, diselimuti keragu-raguan tentang kebenaran agama. 
Antara percaya dan tidak percaya akan keberadaan Allah yang sesungguhnya. 
Ada perasaan tidak yakin, yang tidak berani diucapkannya, akan kemahaadilan Allah.


Benak orang serupa itu dipenuhi banyak pertanyaan yang menggugat perihal kemahaadilan Allah; mengapa orang baik-baik umurnya pendek sedangkan orang yang perilakunya buruk berusia panjang; 
Mengapa Muslim yang soleh hidupnya melarat sementara kafir yang durhaka jadi konglomerat; dan perbandingan-perbandingan yang menurut pendapatnya kontradiksi, yang menurutnya dinilai tak memenuhi rasa keadilan.

Padahal masalah panjang atau pendeknya umur yang dialami setiap makhluk hidup sama sekali tidak mutlak harus dipastikan dengan kebaikan dan kejahatannya. 
Begitu pula masalah kaya atau miskinnya, kegembiraaan atau penderitaannya, sama sekali tidak bisa dipastikan mutlak karena suatu sebab. 

Karena itu, apa-apa yang dialami seseorang tidak mutlak semata-mata karena apa yang dilakukannya; tidak mutlak karena agama yang dianutnya, dan terlebih tidak mutlak karena keturunannya (etnisnya).


Yang bisa dipastikan, perjalanan kehidupan di dunia ini tidak ada yang mutlak pasti. 

Sebab jika perjalanan kehidupan bisa dipastikan secara mutlak, kehidupan di dunia ini tidak akan ramai, karena semua orang  hanya akan melakukan hal-hal yang pasti saja. 
Kalau orang yang baik dipastikan bakal kaya raya atau berusia panjang, dan orang jahat dipastikan berumur pendek atau miskin, semua orang pasti akan berbuat baik.


Jadi, adanya ketidakpastian serupa itu justru merupakan ujian keyakinan bagi seorang yang mengaku Muslim. 

Pertanyaannya, apa kita termasuk Muslim yang hatinya bimbang? 
Apa kita termasuk Muslim yang tidak yakin akan keberadaan dan kemahaadilan Allah SWT?

Semestinya disadari, ada rahasia-rahasia Allah yang mustahil bisa kita telusuri sampai ke detil-detilnya. 

Dan kita tidak punya hak memaksa untuk mengetahui apa-apa yang dirahasiakanNya itu.



Catatan:
  • Realitanya, ketika duduk dalam sebuah jabatan, kita tidak menjadikannya sebagai sebuah pengabdian, tidak menjadikannya sebagai ladang untuk mengumpulkan pahala akhirat; tapi sebagai kesempatan untuk memperkaya diri dengan cara yang tidak diridhoi Allah. Padahal harta duniawi yang tidak berkah, suatu saat akan jadi rongsokan yang tak ada harganya.



(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: