BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Minggu, 26 Februari 2012

RASA BERSALAH


Dalam kehidupan di dunia ini,  kita tidak boleh menganggap enteng perbuatan salah kita yang berakibat merugikan orang lain. 
Tapi di sisi lain, kita tidak boleh terjerat oleh perasaan bersalah yang berlebihan; sebab perbuatan salah pasti pernah dilakukan manusia manapun.

Realitanya, kita sering dihinggapi perasaan bersalah atau merasa disalahkan. 
Selalu salah, selalu salah, selalu salah; itulah perasaan yang kadang melintas di dalam benak kita.  

Punya perasaan bersalah, salah; tidak punya perasaan bersalah, salah. 
Lantas harus berbuat apa? 

Khawatir, tidak boleh; tidak khawatir, tidak boleh. 
Lantas harus seperti apa?


Realitanya, kita sering dihantui berbagai pertanyaan yang sepertinya tidak ada jawabannya. 
Kalaupun ada jawabannya, maka jawabannya itu kita buat sendiri; dan lebih berupa pembelaan diri.

Jika Allah memperlihatkan adanya orang lain yang diberi kekayaan oleh Allah, apa kita salah jika menginginkan Allah memberikan hal serupa itu kepada kita? 
Betulkah kuncinya hanya harus berserah diri? 
Jawaban kita biasanya dibalikkan, memangnya dalam hidup ini tidak ada godaan?

Pertanyaan dan jawaban serupa itu menunjukkan bahwa bersikap sabar itu bagi kita amatlah sulit.  

Pertanyaan serupa itu biasanya muncul dikarenakan ketidakmampuan kita dalam meletakkan sesuatu itu pada tempatnya. 
Artinya, kita sering salah dalam menempatkan sebuah alasan; kita sering salah dalam mengaitkan antara sebab dan akibat.

Kita bukan tidak boleh menginginkan seperti orang lain, tapi kita dilarang iri dengki. 

Justru Islam mendorong kita untuk berusaha; kalaupun gagal kita tak patut merasa bersalah, karena Allah tidak membebani kita melebihi kemampuan kita.  

Perasaan ‘begini salah begitu salah’ terjadi karena kebodohan kita; dan bukan karena ketidakadilan Tuhan.


Dari hal-hal di atas, hindari perasaan bersalah. 

Perasaan bersalah menjerumuskan kita kepada ketidaktenteraman. 

Selama kita tidak merugikan orang lain dengan sengaja, mengapa harus merasa bersalah? 

Kita harus merasa bersalah jika kita merugikan orang lain; tapi tidak perlu merasa bersalah karena tidak bisa menolong orang lain. 
Terserah orang lain mau bilang apa tentang kita, yang penting kita tidak merugikan orang lain.


Justru yang patut dicermati, kita sering menganggap remeh kesalahan kita yang merugikan orang lain. 
Atau kita menganggap kesalahan  kita itu sebagai sesuatu yang wajar, dan tak layak dihukum.

Contohnya, ketika kita iseng melakukan kejahilan menyembunyikan sepatu orang lain, kita merasa tidak bersalah atau merasa perbuatan tersebut tidak perlu dihukum. 

Padahal siapa tahu orang tersebut (yang merasa dirugikan), kemudian mendoakan keburukan buat kita; dan doa orang tersebut menjadi sebuah musibah yang menimpa kita. 

Tapi ketika musibah itu datang, kita merasa Tuhan sewenang-wenang menimpakan musibah tersebut kepada kita (karena kita merasa tidak berbuat salah).








YANG PATUT DAN YANG TAK PATUT DISALAHKAN

Jika kehidupan duniawi sama dengan sebuah game, apa orang yang gagal patut disalahkan? 

Mengapa kita dinilai bersalah jika tidak bisa menyelesaikan masalah, padahal kita sudah berusaha sekuat tenaga?

Jelas, menurut tuntunan Islam, kita tidak patut disalahkan; sebab Allah tidak membebani kita di luar kesanggupan kita.  
Karenanya, jika kita sudah berusaha --dan ternyata gagal-- kita tidak patut merasa bersalah; kecuali jika kita tidak pernah berikhtiar.


Lain halnya dalam mencari kebenaran tuntunan Islam. 

Jika kita tidak juga menemukan tuntunan Islam yang lurus, kita patut disalahkan. 
Sebab, jika kita betul-betul berusaha mencari jalan Islam yang lurus, kita pasti akan menemukannya. 

Jadi, kita bukan tidak menemukan jalan Islam yang lurus, tapi karena kita tidak sungguh-sungguh mencarinya; atau karena kita memang menolaknya. 

Dari sebab itu, kita patut disalahkan.

Analoginya seperti orang buta yang terperosok ke dalam lubang, ia tak patut disalahkan. 
Tapi jika itu dialami oleh kita yang bisa melihat, kita pantas disalahkan karena kita lalai menggunakan mata kita. 

Seperti juga orang gila, ia wajar bila tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah; tapi buat orang yang punya logika dan nurani, seharusnya tahu mana yang benar dan mana yang salah. 

Karenanya, sebagai manusia yang diberi akal, kita tidak bisa menolak jika kita disalahkan karena tidak mau jadi Muslim yang lurus; yang baik dan yang benar.


Dari hal-hal di atas, kita seharusnya bisa mendudukkan satu perkara sesuai pada tempatnya. 

Kita harus bisa mengetahui mana perbuatan kita yang patut disalahkan dan yang tidak. 

Jika patut disalahkan, usahakan diri kita untuk segera menyadarinya. 

Sebaliknya, jika tak patut disalahkan, kita tak perlu terjerat oleh perasaan bersalah atau merasa disalahkan.








TAK PERLU PEDULI DENGAN PENILAIAN ORANG LAIN

Memang, ada kalanya kita harus mendengar apa yang dikatakan orang lain, tapi ada pula saatnya kita tak perlu peduli dengan apa yang dikatakan orang lain tentang kita. 

Yang jelas, seorang Muslim itu harus bisa meletakkan segala sesuatunya itu pada tempatnya. 
Artinya, kita harus benar-benar bisa menentukan yang mana yang pantas didengarkan dan yang mana yang tak usah diambil pikiran.

Selama kita berjalan di atas rel yang benar, yang tidak melanggar tuntunan agama, kita tidak perlu peduli dengan penilaian orang lain. 
Sebab, ketika seseorang sudah dibelenggu pikiran negatip, akan sulit bagi kita untuk merubah penilaiannya kepada kita.  

Buat orang serupa itu, kita tersenyum pun akan dianggapnya sebagai mengejek.






Catatan:
  • Kita sering menganggap musibah yang datang itu sebagai kesewenang-wenangan. Padahal jawabannya jelas; kita sering merasa tidak berbuat salah, atau merasa kesalahan kita itu tak layak dihukum.


(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: