Jangan jadi Muslim yang cengeng, yang
diperangkap kemalasan dan kebodohan; yang hanya tinggi angan-angan, yang hanya
bisa melamun, yang mengkhayalkan diri jadi orang lain.
Hadapilah realita,
jadilah diri kita sendiri.
Dalam situasi apapun dan bagaimanapun, jadilah anak muda Muslim yang berakhlak mulia, yang punya gairah, yang memiliki jiwa yang kuat, yang bersemangat kerja.
Dan bukan hanya bisa pacaran.
Realitanya, banyak yang siap nikah, tapi tidak siap berumah tangga.
Siap membikin anak, tapi tidak ada persiapan untuk memeliharanya.
Selain ketidaksiapan, kepalsuan juga jadi penyebab kerapuhan.
Biasanya, saat pacaran, masing-masing menyembunyikan kekurangannya, malah menipu pasangannya.
Amat pantas, sebuah keluarga yang dibangun di atas rongsokan kepalsuan serupa itu berantakan.
Kalau sudah
begitu, tanpa rasa malu, yang disalahkan Tuhan atau orang lain; dan bukan
dirinya sendiri.
ROMANTIKA DALAM BERKELUARGA
Ketika pacaran, yang kita lihat hanyalah kelebihan yang ada pada pasangan
kita.
Biasanya kita mengabaikan peringatan orang lain, akan sisi buruk yang ada pada pasangan kita; malah yang muncul justru prasangka jelek kepada orang lain yang mengingatkan kita itu.
Biasanya kita mengabaikan peringatan orang lain, akan sisi buruk yang ada pada pasangan kita; malah yang muncul justru prasangka jelek kepada orang lain yang mengingatkan kita itu.
Sebaliknya, ketika sudah menikah, yang kita lihat
biasanya kekurangan yang ada pada pasangan kita.
Ini terjadi, karena kita membandingkan isteri atau suami kita, dengan isteri atau suami orang lain.
Jika tidak waspada, kecenderungan untuk melihat kelebihan suami atau isteri orang lain ini akan melahirkan benih kerusakan dalam rumahtangga.
Ini terjadi, karena kita membandingkan isteri atau suami kita, dengan isteri atau suami orang lain.
Jika tidak waspada, kecenderungan untuk melihat kelebihan suami atau isteri orang lain ini akan melahirkan benih kerusakan dalam rumahtangga.
Karenanya, kita harus tetap saling mendukung,
saling mengasihi dan saling melindungi.
Kita harus bisa memaklumi dan memaafkan segala kekurangan yang ada pada pasangan kita.
Kita harus mensyukuri, bahwa kita masih berkenan mempunyai pasangan.
Kita harus bisa memaklumi dan memaafkan segala kekurangan yang ada pada pasangan kita.
Kita harus mensyukuri, bahwa kita masih berkenan mempunyai pasangan.
Camkan, ketika
pasangan kita tertarik dengan orang lain, kita harus menelaah diri; ia berbuat
serupa itu bisa jadi karena ada kekurangan kita.
Karenanya, jangan mengharap solusinya ada di orang lain, solusinya harus ada pada diri kita.
Sejauh mana kita mau berubah, sejauh mana kita mampu meniadakan kekurangan kita, dan sejauh mana kita bisa memaafkannya.
Memang, ketika hati kita disakiti hakekatnya kita dirugikan: tapi, ketika kita tak bisa memaafkan, hakekatnya kita menanamkan tambahan rasa sakit dalam diri kita.
Seharusnya, terhadap orang yang kita cintai, jangan melihat kekurangannya; tapi lihat apa yang kita sukai darinya.
Karenanya, jangan mengharap solusinya ada di orang lain, solusinya harus ada pada diri kita.
Sejauh mana kita mau berubah, sejauh mana kita mampu meniadakan kekurangan kita, dan sejauh mana kita bisa memaafkannya.
Memang, ketika hati kita disakiti hakekatnya kita dirugikan: tapi, ketika kita tak bisa memaafkan, hakekatnya kita menanamkan tambahan rasa sakit dalam diri kita.
Seharusnya, terhadap orang yang kita cintai, jangan melihat kekurangannya; tapi lihat apa yang kita sukai darinya.
Semestinya
direnungkan, kehidupan berkeluarga sering berubah tanpa kepastian.
Dan jangan harap kehidupan berubah sesuai keinginan kita, jika kita tidak memberi kontribusi positip kepada perubahan itu sendiri.
Dan jangan harap kehidupan berubah sesuai keinginan kita, jika kita tidak memberi kontribusi positip kepada perubahan itu sendiri.
Memang perceraian dibolehkan, namun menghindarinya merupakan keutamaan.
Karenanya, pikirkan masak-masak sebelum melaksanakannya.
Perhitungkan dampaknya, terutama buat anak-anak.
Kalaupun terjadi juga, jangan sampai memutuskan silaturahmi.
Jangan saling menyalahkan.
PERAN PRIA MUSLIM SEBAGAI SUAMI DAN AYAH
Dalam Islam, seorang suami adalah tiang utama keluarga; seorang yang
melayani semua kebutuhan anak dan isterinya, dan bukan ingin dilayani.
Suami dalam Islam adalah kepala keluarga yang ikhlas, yang tidak mengharap balasan kebaikan dari isteri dan anak-anaknya; yang percaya bahwa apa yang dilakukan untuk keluarganya akan mendapat balasan pahala yang jauh lebih baik dari Allah Swt yang menyaksikannya.
Suami dalam Islam adalah kepala keluarga yang ikhlas, yang tidak mengharap balasan kebaikan dari isteri dan anak-anaknya; yang percaya bahwa apa yang dilakukan untuk keluarganya akan mendapat balasan pahala yang jauh lebih baik dari Allah Swt yang menyaksikannya.
Namun kenyataannya,
tanpa rasa malu, tidak sedikit suami yang mengklaim sebagai pemimpin yang harus
ditaati tapi tidak punya rasa tanggung jawab kepada isteri dan anak-anaknya.
Tidak sedikit suami-suami Muslim yang tidak berusaha bekerja secara maksimal.
Yang hanya bisa menuntut pasangannya, tapi dirinya sendiri tidak memenuhi kewajibannya.
Jelas, suami serupa ini telah keluar dari nilai-nilai kepemimpinan yang diajarkan Islam; sebab kepemimpinan suami semestinya diartikan sebagai orang yang memiliki tanggung jawab dan bisa membahagiakan keluarganya.
Dan bukan kepemimpinan yang disalahtempatkan sebagai orang yang berkuasa dengan mutlak, yang setiap ucapannya mesti dituruti.
Sebagai ayah, Muslim
harus berusaha mendidik anaknya dengan tepat.
Artinya, tidak terlalu keras tapi
juga tidak terlalu memanjakannya.
Sebab --pada banyak kasus-- anak yang terlalu dimanjakan, dibanding dengan anak yang tidak dimanjakan, setelah dewasanya cenderung menjadi orang yang lemah dan justru kurang menyayangi orangtuanya.
Sebab --pada banyak kasus-- anak yang terlalu dimanjakan, dibanding dengan anak yang tidak dimanjakan, setelah dewasanya cenderung menjadi orang yang lemah dan justru kurang menyayangi orangtuanya.
Ketika dewasa, selain sering menggantungkan dirinya pada bantuan orang lain, karena kurang memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, anak yang terlalu dimanjakan malah condong lebih menyusahkan orangtuanya.
Realitanya,
ketidakbertanggungjawaban sebagai suami dan kegagalan sebagai seorang ayah
dalam mengarahkan keluarganya, lebih sering jadi penyebab kehancuran sebuah
rumah tangga Muslim.
Realitanya, suami sebagai pemimpin yang bertanggung jawab,
isteri sebagai pendamping yang patuh, serta anak-anak yang berbakti, hanya
merupakan anjuran dalam teori.
Begitu pun gambaran tentang ayah yang bijak, ibu yang penuh kasih, dan anak-anak yang soleh, benar-benar tinggal sekadar gambaran sebuah keluarga Muslim; dan bukan sebuah realita yang umum.
Memang, sebuah keluarga Muslim yang sempurna amat sulit untuk direalisasikan.
Namun, paling tidak, sebuah keluarga Muslim yang amburadul harus bisa dihindarkan.
Karenanya, selain harus saling memaklumi akan keterbatasan kemampuan setiap anggota keluarga, usaha keras tiap anggota keluarga untuk menjalankan fungsi dan kewajibannya dalam sebuah keluarga merupakan keutamaan.
Perlu diketahui,
walau isterinya bukan seorang Muslimah, seorang suami tetap harus memenuhi
tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga.
Ia harus menafkahi dan menjaga isterinya; harus menghormati keyakinan isterinya, termasuk mengantarkannya ke gereja atau ke sinagog untuk beribadat sesuai agamanya.
Suami boleh menjelaskan tentang Islam, tapi tidak boleh memaksanya untuk memeluk Islam.
WANITA DALAM KELUARGA
Ada dua kategori kecelakaan.
Pertama, kecelakaan yang menimpa
fisik atau yang berupa materi.
Contohnya, tertabrak mobil atau dirampok; kecelakaan serupa ini, selain bisa terjadi dikarenakan kesalahan kita, bisa juga disebabkan kelalaian orang lain.
Contohnya, tertabrak mobil atau dirampok; kecelakaan serupa ini, selain bisa terjadi dikarenakan kesalahan kita, bisa juga disebabkan kelalaian orang lain.
Kedua, kecelakaan yang menimpa akhlak kita.
Contohnya, menjadi koruptor atau menjadi pelacur; ‘kecelakaan’ yang ini terjadi lebih disebabkan karena kelalaian diri kita sendiri.
Ada tuntunan agama,
yang dikuatkan banyak hadits, yang seakan-akan melarang wanita keluar dari
rumah sendirian tanpa disertai mahram (suami atau orang yang punya kaitan
hubungan keluarga yang tidak boleh dinikahi).
Pelarangan tersebut merupakan perlindungan untuk seorang Muslimah, yang hakekatnya pencegahan terjadinya kecelakaan yang menimpa moral.
Pelarangan tersebut merupakan perlindungan untuk seorang Muslimah, yang hakekatnya pencegahan terjadinya kecelakaan yang menimpa moral.
Artinya, seorang wanita yang diragukan
keselamatannya bila pergi sendirian, bukan saja wajar tapi sudah seharusnya
bagi kepala keluarga yang bersangkutan untuk melarangnya. [1]
Namun memberlakukan
pelarangan keluar rumah sebagai larangan mutlak, jelas satu hal yang
berlebihan.
Realitanya, banyak ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah, yang dalam prakteknya mustahil untuk selalu harus disertai mahramnya.
Karenanya, yang terpenting, setiap orang (jadi sebenarnya bukan hanya wanita) yang diberi kepercayaan dan berkesempatan ke luar rumah, agar menjaga dirinya dari ‘kecelakaan’.
Realitanya, banyak ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah, yang dalam prakteknya mustahil untuk selalu harus disertai mahramnya.
Karenanya, yang terpenting, setiap orang (jadi sebenarnya bukan hanya wanita) yang diberi kepercayaan dan berkesempatan ke luar rumah, agar menjaga dirinya dari ‘kecelakaan’.
Patut dicamkan, Islam adalah agama yang mencegah terjadinya keburukan.
Seorang wanita
seutamanya menghindar dari berkumpul dengan temannya yang pria; namun ini bukan
pelarangan mutlak dalam arti haram.
Sebab, berkumpulnya dua orang --walau berkelamin sama-- jika akan menimbulkan kemaksiatan, jelas tidak dibenarkan dalam tuntunan Islam.
Sebab, berkumpulnya dua orang --walau berkelamin sama-- jika akan menimbulkan kemaksiatan, jelas tidak dibenarkan dalam tuntunan Islam.
WANITA SEMESTINYA BERBUSANA YANG PANTAS
Bagi yang mengaku Muslimah yang kebetulan senang berpakaian seronok di
hadapan umum, cobalah renungkan: apa manfaat dari berpakaian serupa itu?
Pakaian serupa itu hanya melahirkan sikap melecehkan.
Pakaian serupa itu hanya melahirkan sikap melecehkan.
Harap dicatat, makna
hijrah bukan semata-mata pindah dari Makkah ke Madinah, melainkan berusaha
pindah dari semua keburukan menuju kebajikan; termasuk dari berpakaian seronok pindah ke
berbusana yang sopan.
Sabda Nabi Saw, “Wanita dinikahi karena empat
sebab; karena hartanya, karena derajatnya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Hendaknya pilihlah yang (taat) beragama, agar berkah kedua
tanganmu.”
Dan masih pesan beliau: “Sesungguhnya dunia ini seluruhnya harta, dan sebaik-baiknya harta ialah wanita (isteri) yang soleh”.
SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU
Anak-anak biasanya sangat sulit menerima nasihat dari orangtuanya.
Tapi sebaliknya, dalam meniru perilaku buruk orangtuanya justru amatlah mudah.
Tapi sebaliknya, dalam meniru perilaku buruk orangtuanya justru amatlah mudah.
Itu sebabnya, perangai seorang anak sering tidak terlepas dari karakter dan perilaku orangtuanya.
Dengan kata lain, tindak-tanduk orang tuanya akan ikut membangun karakter seorang anak di kemudian hari.
Karenanya, jika kelak si anak
dicampakkan ke neraka, orangtuanya akan ikut diminta pertanggungjawaban,
sebab tidak mengarahkan anaknya dengan baik.
Sebaliknya, jika kelak si anak
masuk surga, orang tuanya akan kebagian pahala karena telah mendidik anaknya
dengan baik.
Realitanya, pengaruh
ibu lebih dominan dalam membimbing anak-anaknya; sebab, dibanding seorang ayah,
seorang ibu memiliki waktu lebih banyak bersama anaknya.
Dalam tuntunan Islam pun, menghormati ibu itu tiga kali lebih utama daripada menghormati ayah. Maksudnya, seorang anak sangat utama untuk patuh kepada ibu, baik dalam mendengarkan bimbingannya maupun mentaati perintahnya.
Karena itu, seorang ibu jangan sampai salah ketika melangkahkan ‘kakinya’.
Jangan sampai terperosok ke dalam perbuatan tercela, sebab perilaku buruk serupa itu kemungkinan besar akan ditiru oleh anaknya.
Dari hal-hal di
atas, ungkapan ‘surga di bawah telapak kaki ibu’ justru membebankan tanggung
jawab yang lebih besar kepada seorang ibu untuk mendidik anaknya ke arah jalan
yang lurus.
Dan BUKAN harus mencuci kaki ibu, kemudian meminum air bekas cuciannya dengan mengharap barokahnya; sebab ini jelas pemahaman yang batil.
Dan BUKAN harus mencuci kaki ibu, kemudian meminum air bekas cuciannya dengan mengharap barokahnya; sebab ini jelas pemahaman yang batil.
Yang dinamakan barokah adalah sesuatu yang berupa doa permohonan kebaikan
kepada Allah.
Jika seorang ibu berdoa kepada Allah memohon agar anaknya diberi kebaikan, maka tidak salah jika doa si ibu itu dinamakan barokah.
Jika seorang ibu berdoa kepada Allah memohon agar anaknya diberi kebaikan, maka tidak salah jika doa si ibu itu dinamakan barokah.
Patut dicamkan,
seorang anak harus menghormati dan taat kepada orang tuanya --termasuk walau kedua orangtuanya bukan Muslim--
selama orangtuanya tidak menyuruh kepada perbuatan yang munkar.
Karenanya, jika si ibu menyuruh mencuci kakinya dan mengharuskan meminum air bekas cuciannya, sebab ini munkar, seorang anak tak perlu patuh.
Karenanya, jika si ibu menyuruh mencuci kakinya dan mengharuskan meminum air bekas cuciannya, sebab ini munkar, seorang anak tak perlu patuh.
Catatan:
- Suami atau istri sudah seharusnya saling berbagi. Bukan sekadar mengharap dikasihi, tapi yang lebih penting justru bisa memberi dan bisa membahagiakan. Masing-masing harus berusaha menanamkan loyalitas tanpa batas; menumbuhkan kesetiaan tanpa akhir kepada pasangan hidupnya. Harus senantiasa mengharap hanya ridha Allah; harus berusaha untuk selalu tulus dalam membahagiakan keluarganya.
“Apabila seorang Muslim memberi nafkah
kepada keluarganya karena Allah,
maka pahala nafkahnya sama dengan pahala sedekah.”
(HR. Muslim)
Bagikan blog BEBAS MERDEKA PISAN ini kepada teman-teman Anda dengan meng-klik 'bagikan'/'share'...
Semoga balasan pahala akhirat yang kekal menjadi imbalan yang terbaik buat Anda...
(Alfa Qr)
[1]
Secara kodrati wanita ditakdirkan untuk lebih lembut dan lebih perasa;
sementara pria, selain lebih kuat, cenderung lebih kasar dan cepat marah. Namun
dalam Islam, masing-masing memiliki peran yang sama pentingnya; yang
disesuaikan dengan kelebihan dan kekurangannya. Wanita difitrahkan sebagai
pengasuh, sementara pria lebih ditekankan sebagai pemimpin dan pelindung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar