BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Senin, 27 Februari 2012

TAK PERLU BERLEBIHAN


Memang Allah memerintahkan kita untuk berbuat kebajikan. 
Tapi, dalam masalah keberimanan, Allah tak memaksa manusia untuk beriman. 
Karenanya, apapun agama yang dianut seorang manusia, masalah peribadahan adalah urusan orang itu sendiri dengan Tuhannya.  
Bukan tanggung jawab orang lainnya
Artinya, orang mau menjalankan ritus ibadat atau tidak, terserah kepada orang tersebut untuk mendirikannya atau tidak.


Yang jadi pertanyaan, mengapa kita harus repot-repot ikut campur masalah keberimanan orang lain? 
Mengapa kita tidak introspeksi masalah keimanan yang ada di dalam diri kita sendiri? 

Mengapa harus repot-repot mengurus masalah peribadahan orang lain, sementara tatacara peribadahan kita sendiri tidak terurus?  
Buat apa kita harus peduli dengan keluarga orang lain, sementara keluarga kita sendiri acak adut?


Kita memang harus berusaha berbuat kebajikan, tapi tidak perlu jadi orang yang sok soleh
Tidak perlu berlebihan yang tidak pada tempatnya. 

Mesti dicamkan, tuntunan Islam --terutama melaksanakan peribadahan-- mengarahkan kita agar menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya; bukan menjadikan kita merasa lebih hebat daripada orang lain.








TAK PERLU BERLEBIHAN MEMIKIRKAN ORANG LAIN

Kita tak perlu terlalu memikirkan nasib orang lain, kecuali jika kita jadi pejabat yang memang punya kewajiban untuk mensejahterakan rakyat. 

Realitanya, jangankan jalan kehidupan orang lain; jalan kehidupan kita saja lebih sering tak bisa diplot harus sesuai seperti keinginan kita. 
Dengan kata lain, dalam banyak kenyataan, jalan kehidupan setiap makhluk tidak bisa dipastikan akan begini atau harus begitu.

Sebagai orang awam biasa, berusaha menolong orang lain merupakan hal yang elok.  
Namun kita tak perlu merasa berdosa jika tidak mampu membantunya. 

Kita tak perlu terlibat terlalu dalam dengan masalah orang lain. 
Yang penting, kita tidak merugikannya. 


Lagi pula, buat apa harus amat peduli dengan masalah orang lain. 
Sebab, realitanya, satu masalah orang lain beres, masalah yang lain datang.  
Tokh, tak ada akhirnya.  
Tokh, kita tak bisa merubah takdir orang lain. 

Buat apa memikirkan sesuatu yang sudah didisain kita tak bisa mengatasinya. 
Mengapa harus dinilai berdosa jika akhirnya kita cuek?  

Tokh, setiap orang harus membayar perbuatannya sendiri.  
Tokh, setiap orang sudah seharusnya merubah dan mewarnai jalan hidupnya masing-masing.


Realitanya, jangankan merubah nasib orang lain, merubah nasib diri kita --dan kelakuan kita-- sendiri saja belum tentu bisa. 

Yang penting kita sudah memberi tahu, sudah memberi peringatan.  
Yang penting kita tidak menganiaya siapapun

Tidak perlu sok suci. 
Tidak perlu mengharap orang lain menilai kita sebagai orang baik secara berlebihan. 

Lagi pula, semakin dinilai sebagai orang yang soleh malah semakin berat beban kita untuk menjaga kepercayaan orang lain tersebut.






BERMANFAAT BUAT LINGKUNGANNYA

Jabatan apapun yang dipegang seorang Muslim, selain didapatkannya dengan cara yang halal, sudah seharusnya dijalani sebagai pengabdian. 

Perkara apapun yang dihadapinya, selain dilakukannya karena kecintaan, dikerjakannya terutama karena dedikasi, karena rasa tanggung jawab.

Oleh sebab itu, bagi seorang Muslim, profesi seperti hakim atau pegawai negeri adalah profesi untuk mengabdi. 
Bukan untuk mengeruk kekayaan dengan cara yang kotor; bukan untuk jadi pemeras atau koruptor. 

Sebab jika ingin kaya, seorang Muslim seharusnya memilih jadi pebisnis yang siap bersaing secara ksatria; dan bukan memilih jabatan karir.


Dari hal di atas, perilaku seorang Muslim bukan hanya harus bermanfaat buat dirinya, tapi juga harus tidak merugikan buat lingkungannya. 

Namun, jika sudah berusaha untuk tidak menzalimi orang lain, maka seorang Muslim tak bisa disalahkan untuk kesalahan yang di luar keinginannya. 
Dan kompensasi dari ketidakberdayaan manusia, Allah memaafkan kesalahan manusia yang di luar kemampuannya untuk menghindarinya.


Yang jelas, jika Muslim yang melakukan keburukan --dan kemudian bertobat-- layak dimaafkan oleh Allah Yang Maha Pengampun, maka Muslim yang melakukan kebaikan amat wajar mendapat kompensasi berupa tambahan bonus pahala di akhirat dari Allah Yang Mahabijak. 

Karenanya, bagi seorang Muslim, berbuat kebajikan bukanlah satu hal yang sia-sia.  
Yang penting, sesuai kemampuan; tak perlu berlebihan. [1]



“Seandainya hambaKu hendak [2] melakukan perbuatan buruk
(wahai para malaikat) jangan dituliskan kecuali
jika ia melaksanakannya, maka tulislah sebagai satu dosa.
Tetapi jika ia membatalkan [3] perbuatan buruknya karena Aku,
Maka tulislah sebagai satu kebaikan.
Sebaliknya, seandainya hambaKu hendak melakukan perbuatan baik
namun mengurungkannya, tulislah sebagai satu kebaikan.
Tetapi jika ia melaksanakan perbuatan baiknya karena Aku,
tulislah menjadi sepuluh hingga tujuhratus kebaikan.”
(Hadits Qudsi, Shahih Al-Bukhari)

(Alfa Qr)


[1]  Kita tidak dituntut untuk harus menolong orang lain, kita hanya seutamanya menolong orang lain. Yang penting, andaipun tidak jadi orang yang bermanfaat buat orang lain, paling tidak kita jangan jadi orang yang menzalimi orang lain.

[2]  Ada perbedaan antara niat dan hendak
Niat, bisa berarti baru di dalam hati dan belum bergerak melaksanakan perbuatan itu. 
Hendak, bisa berarti sudah bergerak untuk melakukan sebuah perbuatan; dengan disertai niat ataupun tidak.

[3] Artinya, sudah bergerak untuk melakukannya tapi tidak jadi. 
Hakekatnya, seorang Muslim akan dinilai berbuat kebaikan, dan akan mendapat pahala, jika ia mampu menghindar dari berbuat keburukan; padahal ia punya potensi dan peluang untuk melakukan keburukan tersebut.

Tidak ada komentar: