BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Senin, 27 Februari 2012

Hiburan di kehidupan duniawi


Ada kesalahan pandangan terhadap ajaran Islam. 
Seakan-akan Islam mengharuskan Muslim hanya berkutat dalam perkara akidah atau ibadah saja. 
Muslim diidentikan dengan manusia-manusia yang jauh dari hiburan dan senda gurau. 

Ajaran agama seakan-akan hanya terdiri dari dua hal saja: Keharusan dan ketidakbolehan. 
Harus begini harus begitu, tidak boleh begini tidak boleh begitu. 
Perkara yang mubah sepertinya dimakruhkan.


Muslim sepertinya tidak boleh merasakan kepuasan menikmati kegembiraan duniawi, tidak boleh merasakan kepuasan menikmati hiburan. 

Terkesan jika seorang Muslim memiliki uang itu hanya diharuskan bersedekah saja. 
Yang namanya menikmati hobi dinilai menghamburkan uang dan dianggap berdosa. 

Padahal yang namanya berdosa itu jika meninggalkan aturan agama. 
Piknik keliling dunia atau punya seribu rumah, selama dilakukan dan didapatkan dengan cara yang halal, tidaklah berdosa.

Tanpa hobi, tanpa kesenangan, kehidupan manusia hanya akan merupakan rutinitas yang monoton dan membosankan. 

Karenanya, tidak seluruh waktu itu melulu untuk harus membantu orang lain. 
Diri kita pun punya hak menggunakan sebagian waktu itu untuk bersuka cita. 
Artinya, ada saatnya kita terbebas dari keharusan mementingkan orang lain.

Yang jelas, yang namanya egois itu jika kita mementingkan diri kita dengan mengambil hak orang lain.  

Jika mementingkan diri kita itu tanpa mencuri hak orang lain, jelas tidak bisa dinilai egois









MEMAKLUMI KESUKAAN ORANG LAIN

Sangat wajar jika kita menasihati seseorang yang melakukan keburukan terhadap orang lain, atau menasihati seseorang yang beragamanya tidak benar.  
Tapi kita tidak pantas mencela seseorang yang melakukan sesuatu hal yang tidak merugikan orang lain, dan tidak melanggar aturan agama. 
Apalagi memaksa orang itu harus menjadi sama seperti kita.

Orang yang tidak tahu masalah barang antik, tidak perlu mencela orang yang senang mengoleksi barang antik. 
Orang yang tidak suka mendaki gunung, tak perlu mencela orang yang hobi memanjat tebing.  
Sebab yang dilakukan orang-orang itu tidak diharamkan.


Realitanya, bentuk atau jenis kesenangan yang bisa dinikmati tiap orang itu berbeda. 
Selama tidak merugikan orang lain dan tidak melalaikan kewajiban agama, serta tak melanggar yang dilarang agama, apa salahnya seorang Muslim menikmati hobinya?   

Mengapa harus repot-repot mengurusi apa yang bisa dinikmati orang lain? 
Sepertinya orang lain itu tidak boleh menikmati apa yang disukainya.


Mesti diingat, apa yang kita sukai, belum tentu orang lain menyenanginya. 
Apa yang bisa dinikmati orang lain, merupakan haknya. 

Selama tak melanggar aturan agama, kita tak perlu mencela. 
Dan tidak perlu iri. 
Justru rasa iri inilah, yang membuat kita tak bisa menemukan kepuasan menikmati apa-apa yang sudah ada pada diri kita sendiri.








PENTINGNYA TERSENYUM, TERTAWA, DAN GEMBIRA

Tersenyum dan tertawa adalah hal yang wajar dilakukan semua manusia. 
Hanya saja Islam mengingatkan, hakekatnya dalam setiap perkara, untuk tidak berlebihan dan bisa meletakkan pada tempatnya. 
Artinya, selain yang dibolehkan, ada senyum dan tawa yang sebaiknya dihindari.

Contoh yang dibolehkan, senyum sebagai respek tanda menghormati orang yang dihadapi; tertawa yang wajar karena mendengar hal yang lucu; gembira karena mendapatkan apa yang diinginkan. 
Sebaliknya, contoh yang dicela, senyum tanda mengejek; tertawa melihat orang lain celaka, gembira melihat orang lain gagal.


Dalam kenyataan sehari-hari, senyum, tawa dan gembira adalah hal yang sangat berpengaruh dalam menghindarkan depresi. 
Suasana tempat kerja atau kantor yang luput dari senyum, tertawa dan gembira, yang tidak ada humor di dalamnya, hanya akan melahirkan manusia-manusia yang rawan kena stres. 

Manusia-manusia yang bisa saja sukses dari segi materi, tapi mudah tersinggung dan cepat keriput.


Dari beberapa hadits diriwayatkan bagaimana Nabi Saw bercerita perkara-perkara humor yang membuat pendengarnya tersenyum. 
Begitu pula dikisahkan bagaimana Nabi tertawa, sehingga gigi beliau yang putih kelihatan. 

Karenanya, selama wajar dan tidak berlebihan, dalam keadaan sesulit apa pun, jangan lupakan senyum, tawa, dan gembira.






MENJAGA DARI EFEK BURUK KESENANGAN DUNIAWI

Penggambaran tentang  Nabi Isa As (Yesus), di dalam Injil, jauh dari sukacita duniawi. 
Yesus tidak pernah diberitakan tersenyum dan tertawa. 
Simfoni duniawi tentang Yesus lebih bernuansa kesedihan dan penderitaan; hanya berkisar pada kebajikan, kelemahlembutan dan pemaafan.

Penggambaran kehidupan duniawi tentang Muhammad Saw jauh lebih manusiawi; dan bisa dipraktekkan manusia kebanyakan umumnya. 

Tuntunan Muhammad Saw justru menjaga Muslim agar tidak terperosok pada kerusakan di kala menikmati kegembiraan duniawi itu. 
Satu hal yang justru bisa berujung pada penyesalan dan duka cita.


Realitanya, yang namanya hiburan dan kegembiraan merupakan satu kebutuhan bagi orang yang dilahirkan normal. 
Karenanya, selama perkaranya tidak diharamkan oleh agama, setiap Muslim boleh melakukan perbuatan apa pun. 
Hanya saja Muslim yang melakukan perbuatan tersebut harus siap menghadapi resiko dari perbuatan atau hobinya itu.  
Dan jangan hanya bisa menyalahkan orang lain.


Yang jelas, jangan tenggelam dalam suasana sendu, dalam suasana hening yang getir, yang cenderung pada kepedihan dan kesedihan. 
Sebab, selain menjerumuskan pada kemalasan, suasana sendu kadang mengarahkan seseorang pada penyakit dan keputusasaan; terlebih bagi seorang penyendiri. 

Dari sebab itu, usahakan memiliki hobi yang positip untuk pengalih kejenuhan
Usahakan punya banyak teman yang bisa diajak bicara, yang bisa diajak tertawa dan dimintai nasihatnya.








HIBURAN KREATIF, MEMBUAT ORANG DINAMIS

Otak manusia, yang memiliki milyaran jaringan sel syaraf, yang berhubungan dengan pancaindera dan organ tubuh lainnya, adalah organ jasmani yang zahir. 
Dan sebagai organ jasmani yang zahir, dan sesuai sunnatullah, otak manusia dimungkinkan untuk diasah kecerdasannya secara zahir pula. 
Baik dengan menggunakan obat-obatan penambah kecerdasan, maupun dengan permainan yang mengasah otak.

Ini berbeda dengan nurani atau kalbu, yang bersifat batin. 
Tak ada tablet atau kapsul yang bisa membuat kalbu seseorang menjadi lebih cerdas dalam meraih kebenaran agama. 
Kalbu hanya bisa menjadi lebih ‘cerdas’ jika diasah dengan banyak melakukan amal kebajikan


Usaha mencerdaskan otak secara zahir, baik dengan obat-obatan maupun dengan permainan asah otak, tidaklah dilarang. 
Sesungguhnya, Islam tidak melarang permainan kartu seperti bridge dan domino.  
Ataupun permainan semacam monopoli, scrabble, master mind, catur, maupun video game. 
Yang Islam larang jika dalam permainan asah otak atau hiburan itu ada unsur judinya, ada taruhan yang merugikan salah satu pihak.

Selain merupakan hiburan yang mengasah otak, permainan-permainan tersebut mendorong meningkatkan kedinamisan, mengembangkan imajinasi dan inisiatif. 
Realitanya, kemiskinan yang dialami seorang muslim lebih disebabkan karena terbelenggu dengan kebiasaan yang sudah ada. 
Tidak memiliki kreativitas, tidak memiliki motivasi untuk berubah.


Memang kewajiban seorang Muslim mengarahkan putra-putrinya untuk memperdalam keyakinan dan pengetahuan agamanya. 
Namun mengenyampingkan sama sekali permainan interaktif yang melatih kecerdasan pada anak-anak, hanya akan melahirkan manusia-manusia --walau tentu saja selalu ada pengecualian-- yang memang berakhlak tapi tidak inovatif.

Langsung atau tidak, jenis permainan asah otak ini ikut menumbuhkan sikap untuk berusaha memecahkan berbagai persoalan. 
Mengurangi sifat ketergantungan pada bantuan orang lain. 

Jauh dari sifat meminta-minta; satu hal yang justru sering tidak tampak pada kebanyakan orang yang masa kanak-kanaknya hanya dijejali hapalan semata-mata.
Terlebih jika hapalan ini terkesan ada pemaksaan, sekadar hapal tapi tidak menghayati kandungan isinya. 

Sehingga, tanpa disadari, kita telah mengajarkan kepada si anak suatu sikap otoriter. 
Yang mengarahkan kepada perilaku arogan dan tidak toleran. 
Yang melahirkan sikap mau menang sendiri. 
Merasa paling benar dan paling bisa, tapi ketika menghadapi tantangan --karena tak terbiasa-- justru kelimpungan.


Yang jelas, penyebab sukses orang lain adalah mereka bekerja lebih keras dan lebih baik ketimbang kita; lebih berinovasi dan tidak malas.

Mesti dicamkan, orang cacat yang rajin jauh lebih bermanfaat ketimbang orang sehat tapi malas. 

Jika tidak mau insyaf, orang malas yang hanya jadi benalu, yang jadi beban orang lain, apalagi yang merugikan dan meresahkan masyarakat banyak, sebenarnya layak untuk disingkirkan.




(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: