Sistem bagi hasil adalah sistem yang
idealis.
Sistem ini akan berjalan mulus sesuai teori, hanya jika si pemberi modal dan yang diberi modal adalah Muslim yang benar-benar ikhlas.
Masalahnya, mencari orang-orang yang ikhlas dalam perkara yang menyangkut bisnis duniawi di masa sekarang adalah sulit, baik si pemberi maupun yang diberi modal.
Sistem ini akan berjalan mulus sesuai teori, hanya jika si pemberi modal dan yang diberi modal adalah Muslim yang benar-benar ikhlas.
Masalahnya, mencari orang-orang yang ikhlas dalam perkara yang menyangkut bisnis duniawi di masa sekarang adalah sulit, baik si pemberi maupun yang diberi modal.
Dalam banyak
realita, hampir tidak ada --atau memang tidak ada-- si pemberi modal yang
ikhlas bila usaha itu bangkrut dan modalnya tidak kembali atau menjadi
berkurang; kecil sekali kemungkinannya kalau orang ini tidak menggerutu.
Begitu
juga, hampir tidak ada --atau memang tidak ada-- orang yang diberi modal, yang
merasa sudah bekerja keras setengah mati, ikhlas memberikan setengah dari
keuntungannya kepada si pemberi modal yang biasanya ongkang-ongkang menunggu
keuntungan.
Sesuai kodratnya
sebagai manusia, orang yang diberi modal akan memilih untuk memberi keuntungan
yang lebih sedikit kepada si pemberi modal.
Dalam hal ini wajar orang tersebut cenderung meminjam kepada bank, dengan persentase bunga yang lebih kecil, daripada harus membagi separuh keuntungan dengan cara bagi hasil.
Dalam hal ini wajar orang tersebut cenderung meminjam kepada bank, dengan persentase bunga yang lebih kecil, daripada harus membagi separuh keuntungan dengan cara bagi hasil.
Dalam kenyataan
praktek, sering dijumpai dua orang yang bekerja sama dalam suatu perusahaan
berakhir dengan perpecahan, terkadang malah dengan permusuhan.
Lantas, apakah sistem bagi hasil ini suatu hal yang salah?
Jelas tidak. Bagi hasil adalah sistem terbaik selama orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah Muslim-muslim yang ikhlas, yang lebih mengutamakan pahala akhirat ketimbang keuntungan duniawi.
Lantas, apakah sistem bagi hasil ini suatu hal yang salah?
Jelas tidak. Bagi hasil adalah sistem terbaik selama orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah Muslim-muslim yang ikhlas, yang lebih mengutamakan pahala akhirat ketimbang keuntungan duniawi.
Hakekatnya, selama
disandarkan kepada keridhaan Allah semata-mata --ada keuntungan pada kedua
pihak, dilaksanakan dengan kejujuran, ditegakkan di atas keadilan hukum-- semua
usaha bisnis termasuk asuransi adalah boleh.
Realitanya, kebanyakan orang mau
berbisnis bagi hasil bila ada kemungkinan keuntungan pada usaha itu, dan bukan
karena ikhlas demi Allah semata-mata.
Ini, bagi kebanyakan manusia, kodrat yang
wajar.
Contoh kasus: Si A, orang soleh yang merasa beragamanya hebat, menawarkan bisnis bagi hasil kepada si B yang prospek bisnisnya bagus.
Si B secara halus menolak dan menganjurkan
kepada si A untuk menawarkan bisnis bagi hasilnya kepada si C yang lebih
memerlukan modal.
Si A ternyata tidak bersedia berbisnis bagi hasil dengan si
C, sebab walau si C orangnya jujur, prospek bisnisnya dinilai tidak
menguntungkan!
Kalau sudah begitu,
apa betul tawaran bisnis bagi hasilnya itu ikhlas karena Allah?
Maaf, kalau ada yang menilai perilaku Muslim seperti ini sebagai munafik, maka akan terlalu banyak Muslim hipokrit saat ini.
Barangkali, termasuk diri kita sendiri.
Jadi, yang penting
bukan hanya bicara dan berteori.
Sebab setiap orang bisa berteori masalah bisnis bagi hasil, bisa bicara masalah kejujuran dan berbuat baik, tapi tidak ada artinya jika tidak dipraktekkan.
Sebab setiap orang bisa berteori masalah bisnis bagi hasil, bisa bicara masalah kejujuran dan berbuat baik, tapi tidak ada artinya jika tidak dipraktekkan.
BISNIS BERKAH
Selain dikelola oleh orang yang terampil dan profesional di bidangnya,
perusahaan yang membawa berkah adalah perusahaan yang para buruhnya bekerja
dengan jujur dan pemiliknya berlaku adil.
Yang buruh maupun majikannya
melaksanakan hak dan kewajibannya dengan benar.
Karenanya, ketika mendirikan perusahaan, niat Muslim yang ikhlas bukan semata-mata untuk mencari keuntungan tapi karena ingin berbagi rezeki dengan buruhnya; sebab di antara kebahagiaan yang bisa dirasakan seorang Muslim adalah ketika ia bisa berbuat kebajikan kepada orang lain.
Seorang Muslim yang
ikhlas akan memperlakukan buruhnya sebagai partner yang setara; yang sama-sama
saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
Sebaliknya, sebagai buruh, seorang
Muslim menjadikan majikan atau perusahaannya sebagai bagian dari keluarganya;
ia loyal, jujur dan bertanggung jawab.
Ia patuh bukan semata-mata kewajiban
seorang buruh, tapi sebagai bukti akhlak seorang Muslim.
Karenanya, Muslim
yang tidak puas sebagai buruh di sebuah perusahaan, ia akan keluar dari
perusahaan tersebut secara baik-baik; dan mencari pekerjaan lain yang dinilai
lebih baik.
Ia tak akan melakukan protes dengan cara anarkis, yang tak sesuai
tuntunan yang Islami; sebab seorang Muslim sejati akan mengutamakan otak dan
ilmunya, bukan otot dan dengkulnya.
Realitanya, jika
kita punya keahlian atau kelebihan, kita akan dibutuhkan orang lain.
Karenanya, jika atasan atau majikan kita butuh --atau tergantung-- kepada kita, kita tak perlu takut dipecat majikan.
Dari sebab itu, kita harus punya keahlian atau kelebihan.
Dan keahlian atau kelebihan serupa itu hanya mungkin dimiliki bila kita membiasakan diri untuk tekun menuntut ilmu; bukan hanya mimpi rezeki turun dari langit begitu saja.
Karenanya, jika atasan atau majikan kita butuh --atau tergantung-- kepada kita, kita tak perlu takut dipecat majikan.
Dari sebab itu, kita harus punya keahlian atau kelebihan.
Dan keahlian atau kelebihan serupa itu hanya mungkin dimiliki bila kita membiasakan diri untuk tekun menuntut ilmu; bukan hanya mimpi rezeki turun dari langit begitu saja.
Yang jelas, pegawai
yang atheis pasti malas dan tidak jujur; sebab ia berpikir, walau rajin atau
tidak, ia akan digaji sama.
Pegawai yang Muslim, pasti rajin dan jujur; sebab ia percaya Allah pasti melihat kerajinan dan kejujurannya.
Dan Allah pasti akan memberikan rezekiNya
yang lebih besar dengan cara dan dari jalan lain yang tidak terduga.
HINDARI BISNIS PATUNGAN YANG SPEKULATIF
Patungan dalam bisnis bisa direalisasikan dengan menanam saham.
Namun penanaman
saham yang cenderung kepada spekulasi harus dihindari.
Sebab sistem ekonomi
yang mendorong orang untuk mencari keuntungan dalam usaha yang spekulatif,
tidak akan membuat para pelakunya meraih ketenteraman batin.
Sistem ekonomi yang
Islami seharusnya mendorong orang untuk berusaha secara produktif, usaha yang
menghasilkan produk.
Sebab ekonomi yang produktif akan membuat orang berbisnis
dengan kegiatan yang nyata; dan bukan dengan duduk-duduk menunggu keuntungan
yang sifatnya spekulatif.
Karenanya, bisnis bagi hasil yang Islami adalah bisnis produktif yang melibatkan semua pemegang sahamnya dalam aktivitas bisnis perusahaan tersebut.
Dan bukan sekadar jadi penonton.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar