BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Jumat, 24 Februari 2012

BISNIS


Sistem bagi hasil adalah sistem yang idealis. 
Sistem ini akan berjalan mulus sesuai teori, hanya jika si pemberi modal dan yang diberi modal adalah Muslim yang benar-benar ikhlas. 
Masalahnya, mencari orang-orang yang ikhlas dalam perkara yang menyangkut bisnis duniawi di masa sekarang adalah sulit, baik si pemberi maupun yang diberi modal.

Dalam banyak realita, hampir tidak ada --atau memang tidak ada-- si pemberi modal yang ikhlas bila usaha itu bangkrut dan modalnya tidak kembali atau menjadi berkurang; kecil sekali kemungkinannya kalau orang ini tidak menggerutu. 
Begitu juga, hampir tidak ada --atau memang tidak ada-- orang yang diberi modal, yang merasa sudah bekerja keras setengah mati, ikhlas memberikan setengah dari keuntungannya kepada si pemberi modal yang biasanya ongkang-ongkang menunggu keuntungan.


Sesuai kodratnya sebagai manusia, orang yang diberi modal akan memilih untuk memberi keuntungan yang lebih sedikit kepada si pemberi modal. 
Dalam hal ini wajar orang tersebut cenderung meminjam kepada bank, dengan persentase bunga yang lebih kecil, daripada harus membagi separuh keuntungan dengan cara bagi hasil.


Dalam kenyataan praktek, sering dijumpai dua orang yang bekerja sama dalam suatu perusahaan berakhir dengan perpecahan, terkadang malah dengan permusuhan

Lantas, apakah sistem bagi hasil ini suatu hal yang salah? 
Jelas tidak. Bagi hasil adalah sistem terbaik selama orang-orang yang terlibat di dalamnya adalah Muslim-muslim yang ikhlas, yang lebih mengutamakan pahala akhirat ketimbang keuntungan duniawi.


Hakekatnya, selama disandarkan kepada keridhaan Allah semata-mata --ada keuntungan pada kedua pihak, dilaksanakan dengan kejujuran, ditegakkan di atas keadilan hukum-- semua usaha bisnis termasuk asuransi adalah boleh. 

Realitanya, kebanyakan orang mau berbisnis bagi hasil bila ada kemungkinan keuntungan pada usaha itu, dan bukan karena ikhlas demi Allah semata-mata. 
Ini, bagi kebanyakan manusia, kodrat yang wajar.

Contoh kasus: Si A, orang soleh yang merasa beragamanya hebat, menawarkan bisnis bagi hasil kepada si B yang prospek bisnisnya bagus. 
Si B secara halus menolak dan menganjurkan kepada si A untuk menawarkan bisnis bagi hasilnya kepada si C yang lebih memerlukan modal. 
Si A ternyata tidak bersedia berbisnis bagi hasil dengan si C, sebab walau si C orangnya jujur, prospek bisnisnya dinilai tidak menguntungkan!

Kalau sudah begitu, apa betul tawaran bisnis bagi hasilnya itu ikhlas karena Allah? 

Maaf, kalau ada yang menilai perilaku Muslim seperti ini sebagai munafik, maka akan terlalu banyak Muslim hipokrit saat ini. 
Barangkali, termasuk diri kita sendiri.


Jadi, yang penting bukan hanya bicara dan berteori
Sebab setiap orang bisa berteori masalah bisnis bagi hasil, bisa bicara masalah kejujuran dan berbuat baik, tapi tidak ada artinya jika tidak dipraktekkan.





BISNIS BERKAH

Selain dikelola oleh orang yang terampil dan profesional di bidangnya, perusahaan yang membawa berkah adalah perusahaan yang para buruhnya bekerja dengan jujur dan pemiliknya berlaku adil. 
Yang buruh maupun majikannya melaksanakan hak dan kewajibannya dengan benar. 

Karenanya, ketika mendirikan perusahaan, niat Muslim yang ikhlas bukan semata-mata untuk mencari keuntungan tapi karena ingin berbagi rezeki dengan buruhnya; sebab di antara kebahagiaan yang bisa dirasakan seorang Muslim adalah ketika ia bisa berbuat kebajikan kepada orang lain.


Seorang Muslim yang ikhlas akan memperlakukan buruhnya sebagai partner yang setara; yang sama-sama saling membutuhkan dan saling menguntungkan. 
Sebaliknya, sebagai buruh, seorang Muslim menjadikan majikan atau perusahaannya sebagai bagian dari keluarganya; ia loyal, jujur dan bertanggung jawab. 
Ia patuh bukan semata-mata kewajiban seorang buruh, tapi sebagai bukti akhlak seorang Muslim.

Karenanya, Muslim yang tidak puas sebagai buruh di sebuah perusahaan, ia akan keluar dari perusahaan tersebut secara baik-baik; dan mencari pekerjaan lain yang dinilai lebih baik. 
Ia tak akan melakukan protes dengan cara anarkis, yang tak sesuai tuntunan yang Islami; sebab seorang Muslim sejati akan mengutamakan otak dan ilmunya, bukan otot dan dengkulnya.


Realitanya, jika kita punya keahlian atau kelebihan, kita akan dibutuhkan orang lain
Karenanya, jika atasan atau majikan kita butuh --atau tergantung-- kepada kita, kita tak perlu takut dipecat majikan. 
Dari sebab itu, kita harus punya keahlian atau kelebihan
Dan keahlian atau kelebihan serupa itu hanya mungkin dimiliki bila kita membiasakan diri untuk tekun menuntut ilmu; bukan hanya mimpi rezeki turun dari langit begitu saja.


Yang jelas, pegawai yang atheis pasti malas dan tidak jujur; sebab ia berpikir, walau rajin atau tidak, ia akan digaji sama. 

Pegawai yang Muslim, pasti rajin dan jujur; sebab ia percaya Allah pasti melihat kerajinan dan kejujurannya. 
Dan Allah pasti akan memberikan rezekiNya yang lebih besar dengan cara dan dari jalan lain yang tidak terduga. 






HINDARI BISNIS PATUNGAN YANG SPEKULATIF

Patungan dalam bisnis bisa direalisasikan dengan menanam saham. 
Namun penanaman saham yang cenderung kepada spekulasi harus dihindari. 
Sebab sistem ekonomi yang mendorong orang untuk mencari keuntungan dalam usaha yang spekulatif, tidak akan membuat para pelakunya meraih ketenteraman batin.

Sistem ekonomi yang Islami seharusnya mendorong orang untuk berusaha secara produktif, usaha yang menghasilkan produk. 
Sebab ekonomi yang produktif akan membuat orang berbisnis dengan kegiatan yang nyata; dan bukan dengan duduk-duduk menunggu keuntungan yang sifatnya spekulatif. 

Karenanya, bisnis bagi hasil yang Islami adalah bisnis produktif yang melibatkan semua pemegang sahamnya dalam aktivitas bisnis perusahaan tersebut. 
Dan bukan sekadar jadi penonton.




(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: