Ijtihad umumnya
didefinisikan sebagai usaha keras memaksimalkan kemampuan akal pikiran, dalam
mengambil satu keputusan (dari beberapa kemungkinan pemahaman).
Ijtihad ulama
bisa dimaksudkan sebagai menetapkan fatwa hukum atas suatu perkara yang
kepastian hukumnya tidak ditemukan dengan tegas di dalam Qur’an dan sunnah Nabi
Saw.
Yang namanya buah pikir manusia, walau pakar
sekalipun, tentu saja sering membuahkan hasil pemahaman yang berbeda.
Di antara pendapat yang tidak sama, adalah adanya ulama yang berpendirian bahwa ijtihad itu sendiri sudah tertutup; maksudnya, Muslim sekarang cukup mengikuti dengan memilih di antara pendapat yang sudah ada.
Di antara pendapat yang tidak sama, adalah adanya ulama yang berpendirian bahwa ijtihad itu sendiri sudah tertutup; maksudnya, Muslim sekarang cukup mengikuti dengan memilih di antara pendapat yang sudah ada.
Sementara ulama lainnya berkeyakinan bahwa pintu ijtihad selalu terbuka; sebab banyak perkara baru, sesuai perkembangan zaman, yang memerlukan penjelasan hukumnya.
Pencangkokan jantung,
bayi tabung, asuransi jiwa, adalah masalah-masalah baru yang tidak dialami
ulama baheula.
Padahal hukum halal haramnya tidak dipahami oleh kita yang hanya Muslim awam biasa.
Padahal hukum halal haramnya tidak dipahami oleh kita yang hanya Muslim awam biasa.
Tentu saja, akan sangat utama jika fatwa
tentang satu masalah datang dari pakar yang benar-benar memahami perkara yang
dihadapinya.
Misalnya fatwa yang menyangkut tentang kedokteran, akan lebih baik bila datang dari pakar yang juga bergerak di bidang kedokteran.
Misalnya fatwa yang menyangkut tentang kedokteran, akan lebih baik bila datang dari pakar yang juga bergerak di bidang kedokteran.
Begitu pun dalam masalah asuransi dan
bank, pakar agama yang ahli ekonomi tentunya akan lebih memahami persoalannya
sebelum berfatwa.
Namun, pemahaman tiap orang tetap saja bisa berbeda; selain karena referensi yang dipakai tidak sama, bisa juga dikarenakan adanya hal baru yang ikut menunjang untuk dilakukannya penafsiran lain yang baru pula.[1]
Yang jelas,
penafsiran yang mengada-ada tidaklah diperkenankan.
Lagi pula sebuah penafsiran baru, tidak boleh begitu saja mencampakkan penafsiran ulama terdahulu. [2]
Lagi pula sebuah penafsiran baru, tidak boleh begitu saja mencampakkan penafsiran ulama terdahulu. [2]
Yang pasti, ijtihad tidak dapat menghapus ketentuan hukum syareat yang sudah jelas dan tegas ada di dalam Qur’an.
Seperti potong tangan untuk pencuri; Bagian waris anak laki-laki yang dua bagian; Kebolehan untuk berpoligami; Haramnya makan babi; Haramnya riba.
IJTIHAD MUSLIM AWAM
Sering kita temukan pengertian-pengertian yang sama, menggunakan istilah
yang berbeda.
Atau istilah yang sama, sering dirumuskan atau didefinisikan
dengan pengertian yang berlainan.
Hal itu wajar saja, sebab tidak ada keharusan semua pemikir mesti memiliki kesamaan pendapat.
Namun, kalau kita perhatikan, antara satu definisi dengan definisi lainnya tidaklah terlalu berjauhan artinya. Terkecuali bagi orang yang mempunyai kepentingan tertentu, definisi yang dikemukakannya malah bisa bertolak belakang dengan yang dipahami orang lainnya.
Rumusan yang mudah
dipahami Muslim awam, tanpa menyimpang dari hakekatnya, ijtihad adalah usaha
maksimal seseorang dalam mengambil satu keputusan ketika memilih salah satu
dari beberapa pemahaman para ulama pada sebuah perkara.
Contohnya, jika seorang Muslim berkeyakinan pendapat Kiai X lebih baik daripada pendapat Kiai Y, karena ditunjang dalil yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, dan kemudian ia ikuti pemahaman Kiai X tersebut, maka pada hakekatnya ia telah berijtihad.
Ijtihad, dalam
pengertian seperti di atas, merupakan suatu keharusan bagi setiap Muslim yang
diberi akal yang sehat.
Artinya, sebelum melaksanakan satu fatwa seorang ulama, tiap Muslim seharusnya mengkaji dulu pendapat tersebut.
Baik melalui perbandingan dengan pendapat ulama lainnya, maupun dengan pendapat yang terlebih dahulu ada pada dirinya.
Artinya, sebelum melaksanakan satu fatwa seorang ulama, tiap Muslim seharusnya mengkaji dulu pendapat tersebut.
Baik melalui perbandingan dengan pendapat ulama lainnya, maupun dengan pendapat yang terlebih dahulu ada pada dirinya.
SIKON SERBA SALAH
Walau untuk dirinya sendiri orang cenderung pada kebaikan; tapi dalam
menilai orang lain, seseorang justru lebih condong untuk melihat kekurangannya.
Ketika keduanya berjalan kaki sambil menuntun keledainya, orang menertawakannya sebagai orang-orang bodoh;
Ketika si anak naik keledai dan ayahnya yang menuntun, orang mencela si anak sebagai tidak tahu diri;
Ketika si ayah yang naik keledai dan anaknya yang menuntun, orang mencela si ayah karena tega membiarkan anaknya berjalan kaki;
Ketika si ayah dan si anak bersama-sama naik keledai, orang mencela mereka sebagai orang yang tak punya rasa kemanusiaan.
Semuanya ‘serba-salah’.
Realitanya, manusia
sering berada dalam kondisi atau situasi serba-salah.
Contohnya, dengan
pertimbangan takut menyinggung perasaan, ada kalanya kita tak bisa berlaku
jujur; kita tak bisa berterus-terang mengemukakan sifat-sifat buruk atau
kebodohan orang yang sedang kita hadapi. Dijelaskan, takut ia marah; tidak
dikemukakan, dianggapnya kita membiarkannya terperosok pada keburukan.
Begitu pun tatkala
hendak mengikuti pendapat para pakar, kita sering berada dalam situasi ‘serba-salah’.
Terkadang, dengan melihat alasannya, kita merasa ijtihad para pakar yang berbeda itu ‘semuanya benar’.
Terkadang, dengan melihat alasannya, kita merasa ijtihad para pakar yang berbeda itu ‘semuanya benar’.
MENGIKUTI PENDAPAT ORANG LAIN
Dalam kenyataannya, kalau kita hanya dihadapkan pada dua pilihan, untuk
memilih ajaran yang akan membawa kita ke surga atau ke neraka, dengan mudah
kita akan memilih ajaran yang akan membawa ke surga.
Namun dalam kenyataannya pula, dalam hal ajaran yang akan membawa kita ke surga pun (yaitu Islam), kita masih dihadapkan kepada beberapa pilihan fatwa para ulama yang berbeda pendapatnya.
Contohnya dalam masalah zakat profesi (seperti dokter) atau zakat pada harta inventaris perniagaan (seperti kendaraan atau rumah tempat kita berjualan), kita temukan pendapat yang mewajibkan dan yang tidak.
Yang masing-masing mengemukakan alasan yang ‘sama kuat’, yang membuat kita Muslim awam sulit untuk menentukan pilihannya.
Pakar agama yang
berpendapat tidak wajib, berargumentasi dengan tak adanya dalil yang tegas (to
the point) dalam Al Qur’an yang memerintahkan wajibnya zakat profesi atau
zakat inventaris perniagaan tersebut.
Malah dalam hadits yang lemah sekalipun. Yang tidak menjelaskan nisab, waktu dan besarnya zakat yang harus dikeluarkan.
Mereka berpegang pada keyakinan bahwa semua perintah itu datangnya dari Allah; dan manusia tidak berhak menetapkan suatu syariat di sisiNya tanpa izinNya.
Malah dalam hadits yang lemah sekalipun. Yang tidak menjelaskan nisab, waktu dan besarnya zakat yang harus dikeluarkan.
Mereka berpegang pada keyakinan bahwa semua perintah itu datangnya dari Allah; dan manusia tidak berhak menetapkan suatu syariat di sisiNya tanpa izinNya.
Sedangkan pakar
agama yang mewajibkan zakat, berdalih dengan keumuman perintah yang menyatakan
bahwa pada setiap [kelebihan] harta yang kita punyai ada hak bagian orang lain
di dalamnya; padahal yang namanya hak orang lain, wajib untuk dikeluarkan.
Sedangkan sebutan untuk setiap harta yang wajib dikeluarkan adalah zakat; sebab ada hadis yang menerangkan bahwa selain zakat tak ada harta yang wajib kita keluarkan.
Sedangkan sebutan untuk setiap harta yang wajib dikeluarkan adalah zakat; sebab ada hadis yang menerangkan bahwa selain zakat tak ada harta yang wajib kita keluarkan.
Dari hal-hal di atas, maka kita meyakini, pada akhirnya, kemaha bijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta’ala jugalah yang akan jadi pertimbanganNya dalam mengampuni kesalahan kita --dan tentu saja kesalahan orang lain-- tatkala berijtihad memilih pendapat yang [dianggap] benar.
KECENDERUNGAN MENOLAK
Tidak sedikit orang condong untuk kena tipu; mudah terperangkap oleh rayuan
orang lain yang disampaikan dengan cara halus dan menarik.
Sebaliknya, orang juga condong untuk menolak nasihat atau ijtihad orang lain, jika orang yang menasihati itu dinilai ‘tidak ada apa-apanya’.
Realitanya,
adakalanya kita salah dalam memilih orang untuk dimintai nasihatnya.
Padahal saran yang tidak tepat bukannya menyelesaikan masalah tapi menambah masalah.
Biasanya kita lebih mau menerima saran dari orang lain, ketimbang menerima nasihat dari orang yang dekat dengan kita.
Padahal saran yang tidak tepat bukannya menyelesaikan masalah tapi menambah masalah.
Biasanya kita lebih mau menerima saran dari orang lain, ketimbang menerima nasihat dari orang yang dekat dengan kita.
Karenanya, menjadi satu hal yang tidak aneh, jika nasihat kita pun lebih didengarkan oleh orang lain ketimbang didengarkan oleh kerabat kita.
Sama tidak anehnya dengan dokter yang bisa
menyembuhkan anak orang lain, tapi tak bisa menyembuhkan anaknya sendiri.
Realitanya, setingkat nabi pun (semisal Nuh, Ibrahim, Luth As) tak mampu mengajak semua anggota keluarganya untuk beriman.
Apalagi kita.
IJTIHAD MEMUNGKINKAN HUKUM (FIKIH) JADI BERBEDA
Syareat adalah dasar pokok hukum Islam; sumber utamanya Qur’an dan Sunnah.
Fikih adalah ketetapan hukum yang merupakan hasil ijtihad manusia atas syareat.
Oleh karena merupakan hasil ijtihad ulama, kadang dijumpai ketetapan hukum fikih yang berbeda dari satu ulama dengan ulama lainnya untuk suatu perkara yang sama.
Realitanya, penafsiran atau penawilan Qur’an dan sunnah Nabi Saw hakekatnya merupakan hasil ijtihad. Begitu pun ijma (kesepakatan), istihsan (pertimbangan), dan qiyas (penganalogian) para ulama, hakekatnya hasil ijtihad manusia.
Mesti diingat,
karena banyak syarat bagi seorang pakar dalam berijtihad sebelum mengeluarkan
pendapat, maka bagi kita Muslim yang awam cukuplah dengan mengkaji pendapat
pakar-pakar agama yang sudah ada, dan tinggal memilihnya (mengikutinya, ittiba).
Tentunya sesudah mengkajinya sungguh-sungguh.
Tentunya sesudah mengkajinya sungguh-sungguh.
Yang pasti, ijtihad selalu terbuka untuk perkara yang ketentuan hukumnya tidak secara tegas ditekankan di dalam Qur’an.
Sebab mustahil Allah Subhanahu wa Ta’ala lupa untuk mewajibkan atau mengharamkan sesuatu secara tegas dan jelas.
Yang jelas, seorang
petani biasa yang cerdas, walau tidak dilarang, tidak akan bersusah payah
mencoba-coba cara bertani yang belum pasti.
Ia akan memilih di antara beberapa cara bertani yang sudah ada, yaitu cara bertani yang [dianggap] paling baik.
Begitupun dalam perkara ijtihad.
Ia akan memilih di antara beberapa cara bertani yang sudah ada, yaitu cara bertani yang [dianggap] paling baik.
Begitupun dalam perkara ijtihad.
MENGHORMATI PEMAHAMAN ORANG LAIN
Kita harus beriman dikarenakan ketulusikhlasan hati kita; dan bukan karena
dipaksa oleh orang lain.
Begitu pula orang lain, ia seharusnya menjadi seorang Muslim dikarenakan keikhlasan dan kesadarannya. Dan bukan karena dipaksa.
Begitu pula orang lain, ia seharusnya menjadi seorang Muslim dikarenakan keikhlasan dan kesadarannya. Dan bukan karena dipaksa.
Karenanya, walau kita merasa benar, kita sama sekali tidak boleh memaksakan pemahaman atau hasil ijtihad kita kepada orang lain.
Sebab, kalau kita tidak mau dipaksa oleh orang lain, maka orang lain pun jelas tidak mau dipaksa oleh kita.
Realitanya, apapun
kelompok atau mazhab yang kita ikuti, kadang oleh kelompok lainnya kita ini
dinilai sebagai kelompok yang salah; sebagai kelompok yang akan masuk ke dalam
neraka.
Artinya, kita tidak akan masuk surga jika ketentuan mesti sama sekali
terbebas dari kesalahan pemahaman sebagai satu syarat mutlak (untuk masuk
surga).
Padahal kita yakin Allah itu pasti Mahatahu dan Maha Pengampun.
Mengetahui kemampuan kita, dan memaafkan kesalahan kita yang tidak disengaja.
Padahal kita yakin Allah itu pasti Mahatahu dan Maha Pengampun.
Mengetahui kemampuan kita, dan memaafkan kesalahan kita yang tidak disengaja.
Yang jelas, orang
yang senantiasa berpikir positip akan menghormati hasil ijtihad orang lain yang
berbeda atau malah yang berlawanan dengan pemahamannya, karena menyadari bahwa
kemampuan akal atau sudut pandang memungkinkan terjadinya ketidaksamaan itu.
Malah pendapat yang sama pun, bisa saja bertitik tolak dari alasan yang berbeda.
Malah pendapat yang sama pun, bisa saja bertitik tolak dari alasan yang berbeda.
Yang pasti, setiap
orang harus siap mempertanggungjawabkan pemahaman atau ijtihadnya di hadapan
Allah kelak.
Karena, hakekatnya, ijtihad kita itulah yang dimintai pertanggungjawaban.
Karena, hakekatnya, ijtihad kita itulah yang dimintai pertanggungjawaban.
[1] Dulu, ada fikih hasil ijtihad ulama yang melarang --secara mutlak
haram-- foto, gambar, nyanyian, catur,
atau wanita bekerja keluar rumah. Sekarang, fikih serupa itu dikesampingkan orang. Jadi, fikih itu harus pada
tempatnya. Jangan berlebihan.
[2] Mufasirin baheula ada yang mengartikan kulli syai’ dengan makna kebanyakannya (umumnya), sehingga ayat
49 surat Adz Dzaariyat diartikan “…
kebanyakan Kami ciptakan berpasang-pasangan…” Sekarang, ada pakar yang
mengartikan sesuai makna zahirnya “…segala
sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan..” yakni diartikan semuanya
berpasangan; ada betina ada jantan. Ternyata penakwilan lama lebih sesuai
dengan fakta ilmu pengetahuan. Amuba contohnya, ia tak memerlukan pasangan
untuk berkembang biak, tapi cukup membelah diri. Hidra sejenis hewan kecil di
air, berbiak dengan menumbuhkan cabang di tubuhnya yang kemudian memisahkan
diri. Tetumbuhan pun ada yang seperti itu.
[3]
Ada yang menilai kisah ini diceritakan Luqman kepada anaknya untuk
diambil hikmahnya. Tapi ada juga yang menganggap sebagai kisah Luqman dan
anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar