Bank adalah institusi keuangan yang
bersifat duniawi.
Bank memerlukan pengelola yang mustahil tidak digaji.
Bank wajar mencari keuntungan, seperti juga wajar memberi keuntungan bagi penyimpan uang di bank.
Sebab mencari orang yang ikhlas untuk menyimpan uang di bank begitu saja, di zaman sekarang adalah sulit.
Bank memerlukan pengelola yang mustahil tidak digaji.
Bank wajar mencari keuntungan, seperti juga wajar memberi keuntungan bagi penyimpan uang di bank.
Sebab mencari orang yang ikhlas untuk menyimpan uang di bank begitu saja, di zaman sekarang adalah sulit.
Saat ini, selain memudahkan orang
yang membutuhkan modal, bank berfungsi memudahkan transaksi bisnis
internasional.
Bank tidak sekadar alat simpan pinjam.
Bank tidak sekadar alat simpan pinjam.
Dalam prakteknya,
karena harus mengembalikan pinjaman, orang yang diberi modal terpacu untuk berusaha
sungguh-sungguh; dampak positifnya, ia akan mengembangkan kreativitas demi
kemajuan usahanya.
Realitanya, usahawan Muslim yang maju tak terlepas dari bekerja sama dengan bank.
Kalaupun ada yang tak pernah berhubungan dengan bank,
itu adalah pengecualian yang jumlahnya kecil.
Jika usahanya bangkrut, bank wajar menuntut kembali pinjaman yang pernah diberikan.
Jelas, di sini seorang
Muslim diuji dalam menegakkan akhlak Islami; artinya, sudah selayaknya seorang
Muslim membayar hutangnya di dunia. [1]
Anehnya, ada orang
yang mengharamkan bank, tapi menggunakan jasa bank dalam mengirimkan uangnya ke
luar negeri.
Seharusnya, jika konsekwen, ia mengantarkan sendiri uang itu.
Atau mungkin tidak tahu, bahwa memberi keuntungan kepada perusahaan yang dianggap haram merupakan sikap yang munafik.
Seharusnya, jika konsekwen, ia mengantarkan sendiri uang itu.
Atau mungkin tidak tahu, bahwa memberi keuntungan kepada perusahaan yang dianggap haram merupakan sikap yang munafik.
Sama anehnya dengan orang yang melarang
bekerja sama dengan nonmuslim; tapi pakai arloji, kaca mata, tivi, dan
komputernya --malah sajadahnya-- bikinan kafir.
Padahal, hakekatnya, dengan menggunakan barang buatan kafir itu sama dengan memberi keuntungan, secara tak langsung, kepada kafir itu sendiri.
Padahal, hakekatnya, dengan menggunakan barang buatan kafir itu sama dengan memberi keuntungan, secara tak langsung, kepada kafir itu sendiri.
Tentu saja masalah
ini tidak usah diperpanjang.
Yang jelas, untuk zaman ini, mustahil ada kedinamisan bisnis tanpa adanya bank.
Sama mustahilnya jika ada lembaga
penyedia sumber modal yang pengelolanya tidak digaji; dan mustahil pengelolanya
atau pegawainya digaji, jika lembaga itu tidak punya sumber keuntungan.
Memang,
mungkin saja mendirikan lembaga penyedia sumber modal yang dikelola yayasan keagamaan.
Hanya saja, jangan sekadar teori di atas kertas.
Sebab orang lain, di belakang kita (agar kita tak tersinggung), akan menertawakan kita.
Terlebih jika lembaga itu hanya sekadar ganti nama.
Jika dalam prakteknya tetap mengambil keuntungan, maka keberadaannya tidak berguna. [2]
Hanya saja, jangan sekadar teori di atas kertas.
Sebab orang lain, di belakang kita (agar kita tak tersinggung), akan menertawakan kita.
Terlebih jika lembaga itu hanya sekadar ganti nama.
Jika dalam prakteknya tetap mengambil keuntungan, maka keberadaannya tidak berguna. [2]
FIKIH DALAM BEREKONOMI HARUS SESUAI REALITA
Di Barat, seorang nonmuslim yang memiliki ide bisnis, tapi tidak punya
modal, mengajukan proposal ke bank.
Bank mengkaji prospeknya, dan memberi pinjaman lunak dengan bunga lebih ringan dan tenggang waktu bebas bunga.
Usaha si nonmuslim menjadi industri milyaran dollar; bank dan perusahaan serta buruh sama-sama diuntungkan.
Bank mengkaji prospeknya, dan memberi pinjaman lunak dengan bunga lebih ringan dan tenggang waktu bebas bunga.
Usaha si nonmuslim menjadi industri milyaran dollar; bank dan perusahaan serta buruh sama-sama diuntungkan.
Di belahan bumi yang
lain, seorang Muslim yang punya ide bisnis luar biasa, tidak pergi ke bank;
sebab berdasar pemahaman fikih ulama yang diikutinya, ia menilainya haram.
Ia juga tak mau berbisnis bagi hasil, karena kodrat manusiawinya tidak ikhlas berbagi dua dalam keuntungan.
Ia juga tak mau berbisnis bagi hasil, karena kodrat manusiawinya tidak ikhlas berbagi dua dalam keuntungan.
Anehnya, tanpa melihat situasi dan kondisi
sebenarnya yang menyebabkannya, banyak orang mengeritik Muslim sebagai tidak
mau maju seperti orang di Barat.
Padahal penyebabnya jelas, yaitu aturan fikih
(hasil ijtihad ulama) yang salah, bukan syareat agamanya yang salah.
Kenyataannya, hukum
fikih bisa berbeda atau berubah, tergantung ijtihad yang memahaminya.
Artinya, hukum
fikih hasil ijtihad manusia belum tentu sesuai dengan hukum syareat yang
sebenarnya.
Hukum syareat yang sebenarnya mustahil berubah-rubah, sebab mustahil Allah tidak tahu situasi masa depan.
Yang haram menurut syareat, akan tetap haram sampai akhir zaman; begitu pula yang hukumnya wajib, mubah, atau makruh.
Mesti diperhatikan,
sebagus apa pun suatu teori menjadi tidak ada manfaatnya jika tak dapat
dilaksanakan dalam praktek nyata.
Karenanya, aturan fikih yang sangat menyulitkan umat, apalagi yang tidak dapat dipraktekkan dalam realita kehidupan, harus diwaspadai sebagai aturan yang bertentangan dengan aturan syareat yang sebenarnya.
Sebab mustahil syareat Allah tidak bersesuaian dengan kodrat kemampuan manusia.
Karenanya, aturan fikih yang sangat menyulitkan umat, apalagi yang tidak dapat dipraktekkan dalam realita kehidupan, harus diwaspadai sebagai aturan yang bertentangan dengan aturan syareat yang sebenarnya.
Sebab mustahil syareat Allah tidak bersesuaian dengan kodrat kemampuan manusia.
Realitanya, ekonomi
yang berjalan baik adalah ekonomi yang perputaran uangnya secara dinamis
merata di semua lapisan masyarakatnya.
Artinya, kegiatan berekonomi yang baik sudah seharusnya menyentuh masyarakat paling bawah.
Sehingga setiap orang bisa merubah kehidupan ekonominya menjadi lebih baik; dan bukannya makin terpuruk.
Artinya, kegiatan berekonomi yang baik sudah seharusnya menyentuh masyarakat paling bawah.
Sehingga setiap orang bisa merubah kehidupan ekonominya menjadi lebih baik; dan bukannya makin terpuruk.
Dari sebab itu, pemberian pinjaman permodalan --dengan bunga dan aturan yang tidak memberatkan-- harus menyentuh masyarakat bawah ini; sehingga permodalan itu tidak berputar hanya disekitar orang-orang yang sudah kaya saja.
Yang jelas, bagi
seorang Muslim, modal serupa itu saja tidak cukup; selain kemampuan finansial,
Muslim harus menyertai usaha bisnisnya dengan kejujuran dan keadilan.
Sebab
memiliki modal bukan berarti kita boleh berlaku sewenang-wenang merugikan orang
lain.
Contohnya, pada saat barang berkurang padahal dibutuhkan, amat wajar harga barang menjadi naik.
Tapi menyengaja membuat pasokan berkurang, misalnya dengan menyabotase pengiriman barang di tengah perjalanan, hanya pantas dilakukan pebisnis yang tidak bermoral.
Dan mustahil dilakukan pebisnis Muslim yang berakhlak mulia; yang jujur dan adil.
Yang pasti, karena
sifatnya yang saling memakan, siapapun yang mendewakan kapitalisme ia akan
dilahap kapitalisme orang (negara) lain.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar