BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Jumat, 24 Februari 2012

Menegakkan kebajikan


Hukum Islam memang tegas, tapi sebenarnya juga luwes. 
Tegas artinya tidak pilih bulu, luwes artinya tidak asal menghukum. 
Maknanya, ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang adil dan bijak sebelum sebuah hukum dijatuhkan.


Nabi Saw pernah menekankan, sekiranya putri beliau (Fatimah ra) mencuri, maka beliau tidak akan segan-segan untuk memotong tangan putrinya itu. 
Namun terhadap orang lain yang mencuri, dalam suasana perang, Nabi pernah melarang dijatuhkannya hukum potong tangan; dengan tidak bermaksud menghapus hukumnya secara umum.

Ini menunjukkan pelaksanaan hukum dalam Islam, selama tidak menyimpang dari tujuan utama syareat yaitu mencari ridha Allah semata-mata, bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 


Hanya saja keringanan hukum itu sama sekali tidak dibolehkan karena pertimbangan nepotisme atau pertalian kekerabatan. 
Artinya, hukum itu tetap harus tegas dilaksanakan tanpa pilih bulu

Pertimbangan keringanan semata-mata karena situasi dan kondisi yang melatar belakangi terjadinya kejahatan tersebut.

Contohnya, jika Muslim yang miskin mencuri karena terdesak oleh kebutuhan keluarga, maka yang sebenarnya lebih pantas disalahkan adalah lingkungannya; 
terutama para tokoh agama dan orang kaya di komunitas tersebut yang tidak peka terhadap masalah kemiskinan. 

Jadi amat wajar jika si pencuri tersebut diberi keringanan hukuman. 
Lain halnya jika di kemudian hari ia mencuri lagi, memotong kedua belah tangannya pun sudah sepantasnya dilaksanakan.


Realitanya, khalifah Umar bin Khaththab ra  pernah mengasingkan seorang peminum khamar sebagai hukuman; namun ketika kemudian orang tersebut pindah menganut agama lain, Umar tidak lagi mengasingkan peminum khamar sebagai hukuman. 

Di sini jelas, setiap pelaksanaan hukum dalam Islam hendaknya tidak mengabaikan manfaat dan mudharat yang akan terjadi dari dampak hukuman itu sendiri. 
Selain menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kejujuran, hukum Islam tak terlepas dari mengutamakan kemaslahatan dan menghindari kemudharatan bagi orang banyak.

Karenanya, dalam pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan kasus kejahatan antar manusia, dibolehkan adanya pertimbangan kemaslahatan oleh seorang hakim yang betul-betul bijak.  
Namun dalam masalah ritus ibadat tak boleh ada perubahan, melainkan harus ada contohnya dari Nabi.


Yang pasti, dalam Islam, jatuhnya sebuah keputusan hakim harus berpihak pada kebenaran yang diridhai Allah. 
Harus mengutamakan kejujuran yang selaras dengan rasa keadilan; bukan sekadar harus sesuai dengan undang-undang atau hukum yang tertulis. 

Sebab, hakim --termasuk juga para jaksa dan pengacara-- yang melahirkan jatuhnya hukuman yang tidak berpihak kepada kebenaran yang diridhai Allah, akan berhadapan dengan balasan hukum Allah yang lebih dahsyat di akhirat.








MEMBERI PELAJARAN KEBAJIKAN SEJAK MASA KANAK-KANAK

Sesuai dengan yang pertama diperintahkan dalam tuntunan Islam, yaitu membaca atau menuntut ilmu, semua kegiatan yang dilakukan seorang manusia harus berawal dari belajar.  

Orang yang terlambat belajar, ia akan tertinggal oleh orang lainnya. 
Yang tidak mau belajar, ia akan tersisihkan; ia akan keluar dari norma-norma yang berlaku di lingkungannya.


Itu sebabnya mendidik anak, malah dibolehkan dengan sedikit kekerasan, menjadi suatu keharusan bagi setiap orangtua Muslim. 

Memberi pelajaran tata krama, bisa membedakan hal yang baik dan buruk, merupakan satu hal yang amat penting untuk diterapkan sejak dini. 
Memberi pelajaran yang bermanfaat sejak masa kanak-kanak akan menjadi bekal bagi masa depan seorang manusia, sebab pembelajaran adalah pondasi dari semua yang akan dijalani dan dialami seorang manusia.

Faktanya, tak sedikit orang yang di masa mudanya berperilaku buruk kepada anak yang lain, di masa tuanya hidupnya terpuruk. 
Sementara anak yang jadi korban keburukannya justru jadi orang yang berhasil.


Dari sebab itu, orangtua serta guru di sekolah wajib mengingatkan anak-anak Muslim untuk menjadi anak yang berakhlak baik; untuk menjadi anak yang tidak emosional, yang tidak merugikan temannya. 

Sebab, jika si anak dibiarkan memiliki sifat buruk, yang bisa diprediksikan dari kehidupan di masa tuanya hanyalah keburukan-keburukan juga. 









KEBAJIKAN MEMBUAT SUASANA AMAN DAN DAMAI

Amat wajar jika orang yang  memiliki perilaku yang positip --seperti loyal, bertanggungjawab, penolong dan santun-- akan disukai orang lain. 

Sayangnya, dalam prakteknya, untuk menjadi seorang yang berakhlak mulia --penolong yang tulus, yang berempati kepada orang yang kesulitan, rendah hati, jujur dan bijak-- amatlah sulit

Namun, kalaupun tidak menjadi orang yang sarat dengan nilai plus, paling tidak kita jangan jadi orang yang merugikan orang lain


Memang, sama sekali terluput dari berbuat dosa adalah hal yang tidak mungkin; tapi berusaha menghindar dari melakukan keburukan bukanlah hal yang mustahil.


Realitanya, selain motivasi untuk bisa sukses dan bisa bahagia, motivasi paling utama saat ini yang mesti ditumbuhkan, dan semestinya ada pada seorang anak manusia, adalah motivasi untuk tidak berbuat jahat

Motivasi untuk tidak curang; motivasi untuk tidak berbuat kekerasan. 

Sebab, realitanya, kejahatan dan kekerasanlah yang membuat kehidupan di lingkungan kita ini menjadi tidak aman dan tidak tenteram. 

Dari sebab itu, dalam Islam, pelaku kejahatan haruslah dihukum berat, sehingga orang lain yang belum berbuat kejahatan berpikir dua kali sebelum berbuat jahat.


Jelas, andai setiap orang mampu membangun kebajikan dan mau membuang sifat-sifat buruknya, maka semua orang, apapun etnis atau agamanya, bisa hidup bersama dalam suasana damai. 

Karenanya, seorang Muslim harus berusaha jadi warganegara yang bermanfaat; jadi orang baik yang tidak mengganggu tetangga dan lingkungannya.




(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: