Dalam realita, ada orang yang mengalami
peristiwa aneh kemudian menjadikannya sebagai pembenaran terhadap agama yang
dianutnya.
Padahal kebenaran suatu agama tidak bisa ditentukan hanya oleh perkara aneh yang pernah kita alami.
Sebab perkara aneh dapat dialami oleh siapa saja, baik beragama maupun tidak.
Padahal kebenaran suatu agama tidak bisa ditentukan hanya oleh perkara aneh yang pernah kita alami.
Sebab perkara aneh dapat dialami oleh siapa saja, baik beragama maupun tidak.
Sebagai contoh, ada
seorang Muslim yang menderita penyakit yang parah, akhirnya sembuh oleh seorang
nonmuslim; dan karena ia menganggapnya mukjizat, iapun jadi penganut agama
nonmuslim itu.
Sebaliknya, ada kasus yang sama terjadi pada nonmuslim, yang
justru sembuh setelah berobat kepada seorang muslim (padahal cara pengobatannya
tidak sesuai dengan tuntunan Islam); dan ia pun kemudian memeluk Islam.
Kasus-kasus mirip
yang serupa dengan di atas banyak terjadi, walau masalahnya berbeda-beda.
Seperti kasus yang berkaitan dengan kemajuan usaha.
Atau kasus sudah lama tak punya keturunan, akhirnya punya anak juga setelah berkonsultasi dengan kiai atau pendeta.
Padahal Nabi Zakaria As pun baru mempunyai anak ketika sudah berusia lanjut.
Seperti kasus yang berkaitan dengan kemajuan usaha.
Atau kasus sudah lama tak punya keturunan, akhirnya punya anak juga setelah berkonsultasi dengan kiai atau pendeta.
Padahal Nabi Zakaria As pun baru mempunyai anak ketika sudah berusia lanjut.
Dari hal-hal di
atas, jelas sekali, dalam masalah keduniawian segala sesuatu itu bisa
diselesaikan dengan bantuan orang lain yang berbeda agamanya.
Dengan kata lain, keberhasilan itu bukan
semata-mata karena mukjizat; keberhasilan bukan tanda kebenaran ajaran sebuah
agama.
Dalam realita, ada
orang di Barat yang keluar dari agamanya dan pindah menganut kepercayaan lain
semata-mata karena pengalaman mistis, dan bukan karena hasil menelaah kebenaran
agama tersebut.
Karenanya, mempelajari dan mengetahui mana agama yang benar amatlah penting.
Karenanya, mempelajari dan mengetahui mana agama yang benar amatlah penting.
Sesungguhnyalah,
Islam tidak menyukai penerimaan pemahaman tanpa reserve; menerimanya tanpa
menelusuri ajarannya lebih dulu dengan seksama.
Artinya, seseorang menjadi Muslim semestinya karena meyakini kebenaran ajaran Islam, dan bukan sekadar ikut-ikutan orang lain.
Bukan karena mukjizat atau hal-hal yang aneh; sebab tuntunan
Islam ditujukan untuk orang yang berakal pikiran, dan memanfaatkan akal
pikirannya.
Catatan:
- Masih lebih beruntung orang yang pernah melakukan kesalahan, tapi menyadarinya dan kemudian menjadi orang yang baik; ketimbang orang baik yang terperosok pada keburukan. Karenanya, jangan terbelenggu dengan kesalahan di masa lalu. Belum terlambat untuk memulai dengan hal yang baru, dengan menjadi Muslim yang berusaha berbuat kebajikan.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar