Sebab utama, atau tujuan sebenarnya, seseorang memeluk sebuah agama adalah karena ingin masuk surga di akhirat kelak.
Satu keanehan, jika seseorang menganut agama
semata-mata karena ingin hidup tenang tenteram di dunia.
Sebab fakta membuktikan, adanya orang atheis yang hidupnya tenang tenteram, dengan memiliki keluarga harmonis dan bahagia, cukup hanya dengan mempelajari filsafat.
Sebab fakta membuktikan, adanya orang atheis yang hidupnya tenang tenteram, dengan memiliki keluarga harmonis dan bahagia, cukup hanya dengan mempelajari filsafat.
Jadi, jika sekadar ingin hidup tenang tenteram, seseorang cukup belajar budi pekerti, cukup belajar berbuat baik; tak perlu memeluk agama.
Kalau maksudnya sekadar ingin banyak
penggemar, maka masuk perkumpulan olahraga atau kesenian adalah cara lebih
mudah dan lebih menyenangkan, karena tidak terikat dengan tata cara ritual.
Kalau tujuannya sekadar ingin kaya atau sukses dalam berniaga, selain bekerja
yang giat dan tak mengenal putus asa, maka belajar ilmu ekonomi adalah pilihan
yang lebih tepat.
Jadi jelas, seseorang menjadi penganut suatu agama karena
ingin masuk surga di akhirat kelak.
Kalau tidak ingin masuk surga, kita tidak usah repot-repot memikirkan --apalagi memeluk-- agama.
Kalau tidak ingin masuk surga, kita tidak usah repot-repot memikirkan --apalagi memeluk-- agama.
Yang jadi masalah, dari sekian banyak agama, kita harus memilih hanya satu agama; sebab hanya satu agama yang pasti benar.
Mustahil Tuhan yang sama mengabsahkan dua atau tiga agama yang benar dalam
waktu bersamaan.
SALAH PENERAPAN DAN SALAH MEMILIH AGAMA
SALAH PENERAPAN DAN SALAH MEMILIH AGAMA
Menghilangkan penyakit mestilah dengan obat.
Namun sedikit orang yang menyadari bahwa obat pada hakekatnya adalah juga racun.
Namun sedikit orang yang menyadari bahwa obat pada hakekatnya adalah juga racun.
Ia menjadi obat jika takaran yang dipakai tepat.
Bila pemakaiannya ngawur ia berakibat fatal.
Cara dan takaran yang berlebihan malah bisa mengantar pemakainya ke kuburan.
Sementara cara yang asal-asalan, selain karena dosis yang terlalu sedikit, justru membuat penyakitnya makin sulit disembuhkan (menjadi imun).
Jadi kita tidak usah merasa heran, jika ada
orang yang --katanya-- memperdalam agama, justru hasilnya berlawanan dengan
tuntunan agama itu sendiri.
Kalau tidak mengasingkan diri dari pergaulan dengan lingkungannya yang berbeda, ia mengkafirkan orang yang tidak sepaham.
Yang justru memiliki sifat bermusuhan serta lebih menonjolkan kebencian.
Sementara dengan pemahaman sekadar asal-asalan beragama, walau kepada masyarakat lingkungannya ia bersifat toleran dan disenangi, mustahil orang tersebut mencapai hakekat tujuan utama menganut agama; mustahil menikmati kesenangan surga di akhirat kelak.
Akal kita mengatakan, hanya penganut agama
yang benar, dan melaksanakannya dengan benar, yang akan menikmati surga di
akhirat.
Dengan kata lain, penganut agama yang tidak benar pastilah akan dicampakkan ke neraka.
Pertanyaannya, apakah agama yang kita anut sekarang merupakan agama yang benar, yang tidak tercampur rekayasa?
JANGAN MENILAI HANYA DARI PERILAKU
Arti yang mudah dipahami dari filsafat adalah kearifan dalam
berpikir, yang mengarahkan manusia untuk berperilaku dan bertindak bijak, yang
membawanya kepada kebajikan dan ketenteraman di dunia.
Realitanya, tak sedikit orang yang hanya
mempelajari filsafat justru secara spiritual hidupnya lebih tenang tenteram.
Yang budi pekertinya sering dijadikan teladan.
Yang lebih menyenangkan bagi lingkungannya ketimbang seorang yang mengaku beragama tapi tidak toleran.[1]
Yang budi pekertinya sering dijadikan teladan.
Yang lebih menyenangkan bagi lingkungannya ketimbang seorang yang mengaku beragama tapi tidak toleran.[1]
Karenanya, kebenaran suatu agama tidak bisa
dinilai dari perangai penganutnya semata-mata.
Tidak sedikit tingkah laku orang beragama yang tidak mencerminkan ajaran agamanya.
Dan itu merupakan tanggung jawab yang bersangkutan; bukan salah agamanya, dan jangan menyalahkan agamanya.
Jadi, betapa bagusnya pun ajaran suatu agama, tidak menjamin membuat perilaku penganutnya menjadi baik atau benar.
Dari hal-hal di atas, jangan terburu-buru menjatuhkan penilaian yang buruk kepada agama atau seseorang sebelum kita mencermatinya lebih seksama.
Yang jelas, selama tidak mengganggu keyakinan orang lain, setiap orang berhak untuk hidup tenteram.
SEMUA PERBUATAN AKAN DIBALAS
Jika keburukan tampak dibiarkan oleh Tuhan, dan orang yang berbuat
keburukan tampak tidak dihukum oleh Tuhan, maka amat wajar jika banyak orang
yang meninggalkan agama.
Yang jadi pertanyaan, apakah orang-orang ini --yang meninggalkan agama-- tidak akan dihukum?
Jelas, bagi seorang Muslim yang meyakini Allah
Mahaadil, tidak ada keburukan yang terluput dari balasan keburukan juga.
Hanya saja, tidak semua keburukan dibalas sesegera mungkin, tidak semua keburukan dibalas dengan keburukan di dunia.
Hanya saja, tidak semua keburukan dibalas sesegera mungkin, tidak semua keburukan dibalas dengan keburukan di dunia.
Artinya, ada keburukan yang hanya akan
dibalas di akhirat.
Dan serugi-ruginya orang yang berbuat keburukan adalah orang yang dosa keburukannya itu harus ditebus di akhirat, harus ditebus di api neraka jahanam yang membakar.
TAK ADA KESEMPATAN KEMBALI KE DUNIA
Jika perusahaan kita bangkrut karena kita salah langkah, kita masih
punya kesempatan untuk bangkit lagi.
Tapi jika pemahaman atau agama yang kita anut salah, dan kita keburu wafat, kita tidak punya kesempatan kembali ke dunia untuk membetulkannya.
Alangkah ruginya kita --setelah bersusah payah melaksanakan ritus ibadat-- bila ternyata kita salah dalam memeluk agama.
Atau memeluk agama yang benar, tapi pemahamannya tidak benar.
Mesti diingat, agar tidak menyinggung perasaan kita, orang tidak akan mengejek kesalahan kita --atau kebodohan kita-- di hadapan kita.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar