Puncak tertinggi dari beragamanya seseorang adalah keimanan atau keyakinan akan kebenaran agama yang dianutnya; bukan semata-mata karena agama warisan orangtuanya.
Orang yang menerima agama tanpa pertimbangan
akal dan sekadar ikut-ikutan orang lain atau ikut nenek moyang, adalah orang
yang memubazirkan logika dan nuraninya sendiri.
Orang yang mengaku beragama
semata-mata karena nalurinya mengatakan bahwa agama yang dianutnya adalah agama
yang benar, sama saja mensejajarkan dirinya dengan hewan.
Sedangkan orang yang masuk suatu agama hanya karena terpukau dengan kejadian-kejadian gaib --yang suka dikaitkan dengan kesaktian, karamah, mukjizat-- biasanya hanya orang-orang yang mudah dibohongi (mudah ditipu) atau orang yang mengenyampingkan akal.
Suatu kenyataan, peristiwa yang dianggap gaib --kesembuhan dari penyakit, kebal ditusuk, hipnotis, tenaga dalam, dan lain-lain-- adalah kejadian yang bisa dialami oleh banyak orang dari berbagai agama.
Ini menunjukkan bahwa keajaiban diperlihatkan dengan izin Allah kepada siapa saja tanpa memandang agama yang dianut, termasuk kepada orang yang tidak percaya agama sekalipun.
Jelas, Allah memperlihatkan keajaiban tersebut kepada semua manusia untuk ‘memberitahu’ adanya hal gaib di luar dunia kita.
Agar kita sadar bahwa ada kehidupan lain selain kehidupan yang kita jalani saat ini; dan kita diharap untuk merenungkannya.
Dengan kata lain, tidak ada alasan lagi buat kita untuk mengelak, jika Allah nanti menuntut kita di akhirat karena tidak mempercayai agama.
Tak ada alasan untuk membantah bahwa Allah tidak pernah memberitahu adanya kehidupan lain sesudah kita mati.
Hanya saja manusia mesti waspada, tidak semua
kejadian yang aneh, yang sering kita anggap sebagai mukjizat, merupakan
petunjuk dari Tuhan.
Sebab, sebelum hari kiamat tiba, Allah memberi kesempatan
kepada iblis laknat jahanam terkutuk untuk menggoda dan menghasut manusia agar
memilih dan terjerumus pada kesesatan dan kehancuran.
Cerita tentang Dalai Lama yang berinkarnasi
kepada anak Spanyol yang Nasrani menunjukkan keanehan bisa terjadi lintas
agama.
Apa kasus ini menunjukkan lebih benarnya ajaran sebuah agama?
Jadi, salah satu kaidah utama dalam mencari
kebenaran agama adalah dengan akal, dengan logika dan nurani.
Bukan dengan
peristiwa yang dikira mukjizat atau karomah, apalagi dengan takhayul.
Ingat, terjerembab ke dalam khurafat adalah
satu hal yang amat merugikan; tapi menjerumuskan orang lain ke dalam takhayul
--apalagi dengan mengatasnamakan agama-- sungguh akan membuat kita sangat
menyesal di akhirat kelak.
Karenanya, jangan menipu dengan kamuflase agama.
Jangan menukar pahala akhirat yang kekal dengan harta duniawi yang semu, yang
akan jadi rongsokan yang tak ada gunanya.
JANGAN TERPUKAU DENGAN KHURAFAT
JANGAN TERPUKAU DENGAN KHURAFAT
Membasmi khurafat, dan membimbing manusia untuk mengutamakan akal,
merupakan prioritas utama pada masa-masa awal Islam.
Semestinya dicamkan, dalam masalah keduniawian, Islam mengarahkan pada perbuatan nyata.
Selain berdoa, seorang Muslim harus belajar dan bukan hanya berkhayal; harus berbuat dan bukan sekadar berharap; harus bekerja dan bukan diam.
Jadi, keterbelakangan umat Islam bukanlah karena agamanya; melainkan karena oknum-oknum manusianya sendiri yang tak mampu menempatkan ajaran agamanya dengan benar.
Muslim yang benar, walau ia percaya adanya
alam gaib, bukanlah seorang yang mudah terpukau dengan cerita mujizat atau
misteri.
Hanya penganut agama yang tidak benar saja, atau yang pemahamannya tidak benar, yang akan tertipu orang lain dengan jimat dan ramalan dusta.
Hanya penganut agama yang tidak benar saja, atau yang pemahamannya tidak benar, yang akan tertipu orang lain dengan jimat dan ramalan dusta.
Realitanya, orang yang terbelenggu khurafat
--selain orang pandir yang tidak memanfaatkan akalnya-- biasanya orang yang
sarat masalah.
Orang yang menanggung banyak beban kehidupan dan putus asa.
Orang yang menanggung banyak beban kehidupan dan putus asa.
Tidak pelak lagi, si iblis laknat jahanam
terkutuk [1] dan
sekutunya melakukan hal-hal gaib dan menebar takhayul sebagai muslihat untuk
membingungkan manusia dalam melaksanakan aturan agama yang benar.
Sesungguhnya iblis bisa membuat seseorang --seakan-akan-- memiliki ilmu gaib tanpa peduli agama yang dianut orang yang bersangkutan.
Sesungguhnya iblis bisa membuat seseorang --seakan-akan-- memiliki ilmu gaib tanpa peduli agama yang dianut orang yang bersangkutan.
Karenanya, orang ‘soleh’ pun bisa tergelincir bila tidak hati-hati.
Ini peringatan bagi orang soleh yang merasa punya kesaktian.
Coba tebak, siapa yang sebenarnya bersamanya?
Catatan:
- Jika zaman sudah terbalik, jika khurafat merajalela, kebodohan pun jadi terbalik. Tidak sedikit orang yang merasa intelek, yang merasa memiliki pendidikan tinggi, malah meminta ‘tolong’ kepada orang yang justru tak mengenyam pendidikan. Di zaman banyak orang tak eling ini, pejabat yang mengaku beragama justru minta keberuntungan kepada dukun penipu.
- Hakekatnya tiap orang bisa jadi penipu, bisa jadi tukang nujum atau pemberi mujizat. Contohnya, jika ada orang yang datang minta diramal atau minta diobati, katakan saja dua bulan lagi ia akan mendapat rejeki nomplok atau akan sembuh dari penyakitnya. Jika ramalan Anda kebetulan tepat, Anda jadi tersohor. Bila ramalan meleset, Anda sama sekali tak rugi apa-apa. Tokh, Anda masih bisa menertawakan kebodohan orang itu.
(Alfa Qr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar