BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Rabu, 22 Februari 2012

Logika dan Nurani

Makhluk, manusia maupun hewan, yang diberi otak sehat akan memiliki kemampuan untuk berpikir (berlogika). 
Satu kemampuan untuk mengingat, menimbang, dan memahami sesuatu yang zahir yang diketahui inderanya. 

Makin sempurna kesehatan otaknya, makin tinggi kemampuan logikanya. 
Yang membuatnya dapat belajar dan bernalar; bisa melakukan suatu pekerjaan berdasarkan pengalaman.

Hanya saja, selain logika  (akal pikiran, rasio), manusia pun dianugerahi Tuhan dengan karunia lebih berupa nurani (akal budi, qalbu)
Dua kelengkapan akal inilah yang membedakan manusia dengan hewan.


Dengan akalnya ( logika dan nurani) manusia bukan hanya dapat berpikir tapi juga bertafakur; yaitu berpikir yang disertai perenungan yang bisa memisahkan baik dan buruk. 
Hasil olah pikir gabungan logika dan nurani inilah yang jadi dasar dari dalil akal dalam beragama. 
Sebab dengan akalnya (logika dan nurani) manusia dapat mengetahui benar dan salah.


Jadi, pada dasarnya, setiap perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan pada akalnya tersebut; dan bukan pada naluri (instink), karena naluri hanya sedikit diberikan kepada manusia yaitu di saat masih bayi, tatkala akal (logika dan nurani) belum berkembang. 

Sedangkan naluri merupakan satu kelebihan yang umumnya diberikan kepada hewan, sebagai kompensasi dari ketidaksempurnaan akal yang dimiliki hewan.

Itulah keadilan Tuhan. 
Kelebihan akal manusia, membuatnya harus belajar dan bernalar, sebelum mempraktekannya dalam membikin rumah. 
Sementara burung, tanpa perlu belajar, dengan nalurinya sanggup membuat sarang yang dianyamnya secara mengagumkan. 







BUAH DARI LOGIKA DAN NURANI YANG BERSIH

Salah satu kunci untuk meraih ketenteraman hidup adalah senantiasa memotivasi diri untuk berpikir yang baik-baik. 

Dalam kenyataannya, hanya logika dan nurani yang bersih yang memungkinkan seseorang untuk bisa berperilaku positip; bisa memandang suatu perkara dari sisi baik yang bisa kita dapatkan di dalam perkara itu sendiri.

Dengan perilaku positip, seorang Muslim bisa meletakkan segala sesuatu itu pada tempatnya. 
Termasuk bisa menyerasikan logikanya (pikirannya) dan nuraninya (perasaannya) di dalam setiap perbuatannya.


Realitanya, logika melahirkan keinginan; dan perbuatan merealisasikannya menjadi kenyataan. 

Perbuatan yang sekadar mengikuti logika, hanya akan menguntungkan dirinya sendiri. 
Perbuatan yang disertai nurani, tidak akan merugikan orang lain. 

Dengan kata lain, kita merugikan orang lain karena kita melakukan perbuatan tersebut tanpa perasaan.

Karenanya, agar tidak merugikan orang lain, setiap tindakan seorang Muslim sudah seharusnya disertai perasaan (nurani), bukan hanya sekadar berdasar pikiran (logika). 







HARUS MEMILIKI ILMU DAN HARUS IKHLAS

Tidaklah salah, jika seseorang mengatakan bahwa ia bisa membedakan potlot dan pulpen karena ia tidak buta. 

Namun ada hal yang ia lupakan; walau tidak buta, di tempat yang gelap mustahil ia bisa melihat potlot dan pulpen jika tidak ada cahaya yang menimpa dan memantul dari potlot dan pulpen tersebut.


Menurut ilmu fisika, sinar terdiri dari partikel-partikel yang dinamakan foton. 
Semakin banyak foton-foton cahaya menimpa suatu benda maka makin jelaslah benda itu kelihatan. Sebaliknya, makin sedikit foton-fotonnya makin buramlah benda itu dalam pandangan.

Begitu pun sebuah kertas putih akan nampak kebiru-biruan bila sinar yang menimpanya mengandung warna biru, dan akan nampak kekuning-kuningan manakala ditimpa sinar yang mengandung warna kuning. 
Hanya sinar yang terang yang akan menampakan kertas itu berwarna putih.


Ibarat mata yang bisa melihat karena adanya foton, logika bisa membedakan baik dan buruk manakala ada pengetahuan padanya. 

Dan makin bisa memisahkannya bila ilmu pengetahuannya semakin dalam.


Sedangkan nurani ibarat sinar terang, yang bersih dan jelas. 
Apa yang dipandang logikanya tidak akan keliru manakala disertai nurani yang bersih, yang ikhlas. 

Perenungannya yang dalam bukan saja akan menemukan hakekat beragama yang baik, tapi juga yang benar.








YANG TIDAK DITUNTUT UNTUK BERAGAMA

Dua organ jasmani, yang dapat dilihat atau diraba, yang amat vital dimiliki manusia adalah otak dan jantung
Jika salah satu organ ini rusak atau tak berfungsi, manusia bisa sekarat dan mati. 

Sedangkan dua organ rohani, yang tidak dapat dilihat maupun diraba, yang amat penting dimiliki manusia adalah logika dan nurani
Jika salah satu organ ini rusak atau tidak berfungsi, manusia yang ini akan ‘sekarat dan mati’.


Realitanya, orang yang punya logika membedakan benar dan salah, ataupun membedakan baik dan buruk, berdasar contoh dari kejadian terdahulu

Orang yang punya nurani bisa memisahkan benar dan salah, ataupun memisahkan baik dan buruk, jika pintu nuraninya sedang (benar-benar) terbuka
Jika pintu kalbunya sedang tertutup, ia tidak bisa membedakan yang baik dengan yang buruk, yang benar dengan yang salah.


Dari hal di atas, logika dan nurani haruslah berjalan seiring. 
Jika tidak, orang tersebut mustahil menjalani tuntunan agamanya dengan benar. 

Realitanya, saat ini, banyak orang yang kehidupannya tidak tenteram dikarenakan setiap langkah perbuatannya hanya mengutamakan pikirannya (logikanya) dan mengabaikan perasaannya (hati nuraninya).


Yang jelas, karena logika termasuk unsur dasar dari sebuah pertanggungjawaban, maka orang yang tidak sehat otaknya, tidak dituntut untuk beragama

Sedangkan orang yang cacat tubuhnya (invalid) tetap diminta pertanggungjawaban selama akalnya sehat.




TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

(Alfa Qr)

Tidak ada komentar: