BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Rabu, 22 Februari 2012

Menilai agama


Karena cenderung berpikir negatip, tidak sedikit orang menilai agama dari sisi gelapnya. 
Munafik, menipu, bohong, kuno, candu dan racun merupakan kata-kata yang akrab diterapkan pada agama oleh mereka. 
Salahkah mereka? Tidak. [1] 
Pendapat dan penilaian mereka benar, menurut mereka, disebabkan informasi yang keliru tentang agama. Atau karena mereka memandangnya dari sudut yang kelihatan oleh mereka.

Ibarat seorang penonton teater yang duduk pada tempat yang kurang tepat; yang melihat gerak pemainnya, tapi tidak mendengar dialognya. 
Atau karena terhalang penonton di depannya, ia tidak bisa melihat gerak pemainnya dan sekadar mendengar dialognya; atau malah hanya mendengar bunyi musik pengiringnya saja. 

Lebih buruk lagi jika hanya bisa melihat layar di latar belakang; ia cuma bisa bertanya pada penonton di sebelahnya tentang pertunjukan itu, dan mendapat penjelasan yang salah!


Mereka menilai Islam hanya karena bertemu Muslim yang tekun beribadah, tapi dinilai menelantarkan keluarganya dari segi ekonomi; dan mereka berasumsi bahwa semua Muslim seperti itu. 
Atau menyamakan Kristen sebagai sumber kebobrokan moral, hanya karena melihat film-film Barat yang mengobral sex. 
Mereka pukul rata hanya karena melihat perilaku sebagian orang.

Adalah salah besar, mensejajarkan moral Budhisme dengan berjangkitnya AIDS di Thailand. 
Sama salahnya mengidentikan kemiskinan di India dengan Hindu; atau mengidentikkan lintah darat dengan Yahudi. 
Seperti juga kesalahan menilai Islam sebagai agama perbudakan, atau menafsirkan Muslim sama dengan doyan beristri banyak.


Juga tidak terpungkiri, karena ketidaktahuan, adanya penilaian negatif dari orang awam terhadap orang yang memperdalam hakekat agama atau tasawuf; yang sering tampak menjadi linglung atau setengah waras, seperti perilaku orang-orang pada dongeng sufi. [2]


Kekeliruan penilaian pun memuncak ketika perilaku orang beragama, termasuk para tokohnya, justru memberi contoh yang tidak baik. 

Realitanya, tak sedikit orang yang memproklamirkan dirinya sebagai tokoh agama yang mengomersilkan agama sebagai mata pencaharian; yang menjual mistik dan takhayul, yang bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. 

Ataupun menjadikan lembaga agama sebagai alat untuk meraih kedudukan; identik dengan orang yang mendirikan yayasan sosial hanya agar mendapat penghasilan sebagai pengurusnya, dan bukan ikhlas untuk kepentingan sosial. 
Seperti disinyalir Voltaire [3] pada zamannya.

Jadi, salahkah penilaian mereka yang anti agama? 
Tidak salah. 
Bukan kaca matanya yang keliru, melainkan karena mereka melihatnya pada tempat dan saat yang tidak tepat

Kalau saja mereka mau pindah tempat duduk, mereka bisa menikmati teater itu dengan benar. 
Seandainya mereka mau meluangkan waktu mempelajari buku berbagai agama, mereka akan mendapat masukan lebih lengkap tentang masing-masing agama. 


Yang jelas, siapa pun yang mempelajari agama-agama, baik yang berupa mitos rekayasa manusia, maupun agama yang benar yang berasal dari Allah, akan bertemu pada satu ujung yang sama: Agama menuntun manusia untuk berperilaku yang baik, yang berguna untuk dirinya dan tidak merugikan orang lain

Sebab bukan agama namanya jika mengajarkan keburukan. 
Bukan agama namanya jika mengharuskan manusia untuk tidak toleran. 
Bukan agama namanya jika menciptakan permusuhan.


Kalau begitu, apa bedanya agama dengan filsafat bila hanya sekadar tuntunan berperilaku yang baik? Bukankah filsafat juga menuntun pada kebaikan? 

Bedanya, filsafat merupakan buah pikir manusia; agama yang benar (Islam) adalah rahmat Allah. 

Orang yang mendalami filsafat hanya akan mengalami ketenteraman di dunia. 
Orang yang mengikuti tuntunan Islam mendapat tambahan: Menikmati kebahagiaan surga di akhirat.




Catatan:
  • Sebelum mengajak, kita seharusnya punya sarana dan prasarana yang layak. Tidaklah pantas kita menyuruh orang lain untuk berpakaian yang rapih dan bersih, sementara pakaian kita sendiri compang-camping. Realitanya, orang akan lebih tertarik dengan ajakan kita jika kita menuntunnya dengan lembut, dan bukan menarik tangannya dengan kasar.
  • Semua agama pasti mengajarkan kelemahlembutan dan menyuruh untuk berbuat baik. Karena itu, kebenaran sebuah agama tidak bisa disandarkan hanya dari perkara kelemahlembutan dan kebajikan saja.
 
(alfa Qr)


[1] ‘Tidak’ di sini dikaitkan dengan sebabnya. Seperti orang buta warna yang bersikukuh menyebut ‘merah’ untuk sesuatu yang menurut pandangan kita berwarna hijau. Menurut ahlinya (dokter mata) pendapat dia ‘benar’ karena sesuai dengan yang dilihatnya.

[2] Sebenarnya tidak bisa disalahkan perilaku yang tampaknya seperti ‘tidak waras’ ini. 
Siapapun yang sudah merasakan dirinya amat dekat dan amat yakin dengan Tuhannya, ia akan bermasa bodoh dengan penilaian orang lain. 
Hanya saja tujuan Islam yang sebenarnya bukanlah untuk menjadikan semua manusia harus seperti ini. Sebab tidak terbayangkan, apa jadinya dunia ini, jika semua manusia saling bermasa bodoh. 
Lagi pula, ajaran meninggalkan kerajaan duniawi dengan menjadi orang fakir berasal dari agama lain, dan bukan dari tuntunan Islam.

[3] Nama aslinya Francois Marie Arouet, filsuf Perancis abad ke delapanbelas. 
Ucapan yang sering dinisbatkan kepadanya, “Saya tidak setuju dengan apa yang kau ucapkan, tapi akan saya bela mati-matian hak kamu untuk mengucapkan itu”, merupakan kalimat paling populer yang sering disitir untuk menunjukkan sikap toleransi dan demokrasi. 
Sebagai pembenci kejumudan dan fanatisme buta, Voltaire pernah menulis drama yang ‘keliru’ tentang Nabi Muhammad Saw, tapi dramanya itu lebih merupakan sindiran kepada para pemuka gereja di negerinya. Akibatnya, selain drama tersebut diprotes gereja, berlanjut pada perlakuan gereja yang tidak layak di saat Voltaire wafat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Boleh saja MENILAI AGAMA bro...!!! Karena Agama adalah buatan Manusia untuk tujuan yang Mulia....!!! Sepanjang didukung oleh Teori dan Praktek yang Relevan dan Konsisten....!!!