BEBAS MERDEKA PISAN

BEBAS MERDEKA PISAN
HARAPAN dan REALITA

Rabu, 22 Februari 2012

Hadits dan Sunnah


Arti yang umum, yang mudah dipahami oleh kita yang awam, hadis adalah riwayat yang berkaitan dengan Nabi, baik berupa ucapan maupun perbuatan beliau, yang dikabarkan para Sahabat ra  dan dituturkan orang-orang terkemudian. 
Sunah adalah pola hidup (perilaku, baik ucapan maupun perbuatan) Nabi Muhammad Saw yang dijadikan contoh. 


Untuk mengenali hadis soheh atau lemah, serta tingkatannya (mutawatir, ahad, maushul, mursal, dsb.) seorang pakar harus mengetahui ilmu hadis. 
Sedangkan bagi kita yang awam, cukuplah dengan mengikuti hasil penelitian para pakar tersebut; tentu saja kita harus berusaha mengikuti yang benar-benar pakar terpercaya.
Demikian pula dengan kedudukan hadits itu --berkaitan dengan penyampaian syareat atau tidak-- hanya yang benar-benar pakar hadis yang bisa menjelaskannya dengan benar.

Di antara kaidah utama dari kesahihan hadis adalah kemustahilan isi atau matan hadis bertentangan secara mutlak dengan Al Qur’an, karena Qur’an yang merupakan wahyu Allah pasti terjaga kesuciannya. 

Sementara pada hadis, karena berupa riwayat atau kabar yang disampaikan dari orang per orang, adanya perubahan susunan kalimat atau masuknya pemahaman (termasuk kepentingan si periwayat itu sendiri ke dalamnya) pada saat proses penyampaian atau transmisi periwayatan, bukanlah hal yang mustahil.


Harap dimaklum, ada perbuatan Nabi yang disunnahkan, atau malah diwajibkan, yaitu yang berupa penjelasan dari perintah dalam Qur’an yang tidak ada rinciannya (seperti salat, zakat, haji). 
Ada pula perbuatan Nabi yang tidak disunahkan untuk menirunya; karena hanya sekadar kebiasaan (berpakaian, makan-minum, berjalan); sebagai kodrat manusia (ngantuk, tidur); dan yang ‘dikhususkan’ kepada Nabi atau karena terkait dengan situasi dan kondisi tertentu.

Jadi, yang dilakukan Nabi tanpa motivasi sengaja (dalam syareat), seperti duduknya Nabi di suatu tempat yang sekadar beristirahat, bukanlah suatu ketentuan yang wajib ditiru.

Begitu pun dalam masalah selera seseorang, tidak berarti menjadi sunah yang harus diikuti. 
Bahwa Nabi menyukai daging kambing, tidak berarti orang yang tidak suka daging kambing melawan sunah. 
Atau orang yang senang makan bawang putih, tidak boleh diartikan menentang Nabi, hanya dikarenakan Nabi tidak menyukai bawang.


Termasuk yang bukan sunnah adalah semua yang dilakukan Nabi  Shallallahu Alaihi wa Sallam sebelum masa kenabian, walaupun perbuatan itu disengaja.  
Contohnya, bertahanut di gua Hira.

Karenanya, jika ada Muslim yang mencari ilham dengan cara bertapa di gua atau di tempat keramat, perbuatan ini menyimpang dari ajaran Islam. 
Hendaknya dicamkan, tempat itikaf seorang Muslim adalah di masjid;  bukan di gua, bukan di kuburan, bukan di tempat keramat.






HARUS BISA MEMISAHKAN ANTARA HADIS DAN DONGENG

Situasi dan kondisi yang berlainan memungkinkan terjadinya perbedaan pemahaman atas suatu hadis, malah dalam menerima atau menolak hadis. 
Terlebih dengan adanya dongeng yang dikira hadis, yang dilansir orang tak bertanggungjawab, seperti kaum zindik, atheis maupun orientalis.

Seratus atau limapuluh tahun yang silam, dongeng tentang langit pertama yang terbikin dari perak murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan rantai-rantai emas (ini jelas bukan kiasan atau perumpamaan, dan tidak bisa ditafsirkan lain melainkan sesuai bunyi zahir kalimat), bisa saja disambut dengan mulut terperangah penuh kekaguman dan diterima dengan penuh keyakinan. 
Namun bila diceritakan sekarang, saat pesawat ruang angkasa sudah melanglang ke Mars dan Jupiter, dongeng tersebut disambut dengan senyum sinis oleh pendengarnya.

Salahkah perilaku orang-orang terdahulu? Tidak. 
Situasi dan kondisi masa itu memungkinkan untuk diterimanya dongeng semacam itu. 
Mereka mengkhayalkan bintang dan benda langit lainnya serupa dalam mitos Yunani atau Romawi, semacam dongeng Icarus yang sayapnya meleleh karena terbang terlalu dekat ke matahari.

Banyak dongeng-dongeng, yang dikira hadis, yang isinya terpasung khayal mitologi seperti itu; yang wajar saja dipercayai Muslim zaman baheula, tapi sama sekali tidak untuk Muslim zaman sekarang.


Kita, Muslim awam biasa, patut berterimakasih kepada para ulama (semoga balasan pahala dan rahmat Allah senantiasa melimpahi mereka) yang telah bekerja keras meneliti, memilah, memisah-misahkan, sampai dengan mengelompokkan hadits shahih dan lemah sendiri-sendiri; disertai dengan penjelasannya. 
Sehingga, untuk mengetahui kebenaran suatu hadis, kita cukup membaca buku buah tangan para pakar hadis tersebut.


Sebagai pegangan, selama tidak menentukan hukum --berkaitan dengan perintah wajib dan larangan haram--  hadis lemah bisa saja dipakai sekadar nasihat pada kebaikan. 

Contohnya, ada yang beranggapan bahwa anjuran ‘tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina’ bukan berasal dari Nabi Saw
Namun disebabkan ungkapan tersebut tidak berkaitan dengan masalah peribadatan dan akidah Islam --dan kalimat tersebut sesuai dengan tuntunan Islam yang menganjurkan kaum Muslimin untuk menuntut ilmu-- maka ungkapan serupa itu tidaklah salah untuk disampaikan.

Sedangkan cerita dongeng yang tak bermanfaat, dan condong kepada hal yang takhayul, harus disingkirkan.





Catatan:
  • Ada satu pengertian yang sudah terbiasa selama ini bahwa yang dimaksud sunah adalah hadis Nabi yang harus diikuti, yang bukan sunah adalah hadis Nabi yang tidak mengikat untuk diikuti. Sedangkan definisi baru yang lebih ngetren sekarang, sunnah dibagi dua jenis:  Sunnah yang berkaitan dengan penyampaian risalah agama, dan sunnah yang tidak berkaitan dengan penyampaian risalah agama.


(Alfa Qr)

TULISAN DI BLOG BEBAS MERDEKA PISAN, BEBAS UNTUK DICOPY, DIPRINT, DIBAGIKAN, DAN DISEBARLUASKAN..

Tidak ada komentar: